Tarif cukai sudah naik, mengapa harga rokok masih murah?
Industri rokok terus menuai kontroversi. Sebanyak 21 pemuda seusia SMA dari berbagai wilayah Indonesia yang menamakan dirinya FCTC (Framework Convention of Tobacco Control) Warrior menggugat harga rokok yang masih murah dan terjangkau oleh anak-anak.
Ke-21 anak muda tersebut melakukan survei kecil-kecilan di 46 warung yang sama di 19 kota Indonesia pada Desember 2017 dan Februari 2018, untuk membandingkan perbedaan harga rokok sebelum dan sesudah kenaikan tarif cukai sebesar 10,04% yang berlaku per Januari 2018.
Hasilnya mengecewakan hati mereka karena kenaikan harga rokok paling mahal Rp500 per batang. Itupun tidak merata di seluruh daerah dan hanya terjadi pada sebagian kecil merek.
FCTC Warrior juga menghimpun data yang membentuk fakta ironi kalau harga telur, yakni senilai Rp1.200 per butir, masih lebih mahal dibandingkan harga rokok paling murah per batangnya seharga Rp1.000.
Dikutip Antara, Kepala Bidang Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Nasruddin Djoko Surjono menjelaskan kenaikan harga rokok memang tidak terjadi serta merta pascakenaikan tarif cukai.
Dia menjelaskan dampak kenaikan harga rokok dari kenaikan tarif cukai biasa terjadi pada bulan Agustus, atau bahkan dalam rentang satu tahun setelah kebijakan diterbitkan.
Kenapa rokok harus mahal?
Untuk mengurangi konsumsi rokok di kalangan remaja ialah dengan membatasi akses dalam membeli produk tembakau tersebut.
Salah satunya dengan menaikkan harga jual rokok yang tidak bisa dijangkau oleh uang jajan anak sekolah. Syukur-syukur harga rokok yang mahal juga memengaruhi daya beli masyarakat sehingga terjadi pengendalian dengan menurunnya prevalensi perokok.
Kendati harga jual rokok yang tinggi mungkin tidak memengaruhi daya beli kalangan pekerja menengah atas, yang terpenting adalah melindungi anak-anak dari paparan rokok.
Kenapa anak-anak? Karena anak-anak dijadikan target pasar utama penjualan industri rokok untuk menjadi perokok pemula, kemudian berlanjut menjadi konsumen tetap.
Industri rokok mengerahkan berbagai daya upayanya untuk menggaet anak-anak supaya mau mencoba-coba merokok. Lihat saja berbagai iklan rokok dengan manipulasi psikologi komunikasi tingkat tinggi menggambarkan betapa kerennya, betapa hebatnya, betapa machonya laki-laki dalam iklan rokok tersebut.
Betapa berat tugas Indonesia untuk menurunkan angka prevalensi perokok pemula menjadi 5,13% pada 2019 sebagaimana sudah ditetapkan pada RPJMN. Di sisi lain, perokok remaja usia 15-19 tahun malah meningkat dari 7,2% pada 2013 menjadi 8,8% pada 2016.
Ini ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Bila terus dibiarkan, akan menjadikan penduduk usia produktif di masa mendatang menjadi generasi yang sakit-sakitan akibat dampak rokok.
Beberapa cara untuk menyetop konsumsi di kalangan remaja ini yaitu dengan menaikkan harga jual rokok, dan menghindari anak-anak dari paparan iklan rokok di berbagai media.
Menaikkan harga jual rokok dengan cara menaikkan tarif cukai rokok, menghindari anak-anak dari paparan iklan rokok dengan menyetop iklan rokok di televisi dan komitmen pemerintah daerah untuk menolak iklan rokok di wilayahnya.
Hingga saat ini sudah ada 10 daerah yang sudah menolak iklan rokok dalam bentuk apapun beredar di wilayahnya. Kesepuluh daerah itu adalah Provinsi DKI, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Kulonprogo, Kota Bogor, Kota Padang Panjang, Kota Bukit Tinggi, Kota Payakumbuh, Kabupaten Pasaman, Kota Padang, dan Kota Bekasi.
Sebanyak 309 kabupaten dan kota serta 19 provinsi di Indonesia saat ini sudah menerapkan peraturan daerah atau peraturan kepala daerah tentang kawasan tanpa rokok (KTR) di sejumlah wilayahnya.
Walau tidak seluruhnya mengimplementasikan kebijakan KTR secara maksimal, namun kawasan tanpa rokok diyakini bisa membantu dalam pengendalian konsumsi rokok, paparan asap rokok, dan paparan gambaran perilaku merokok yang bisa dicontoh oleh anak-anak.
Sedangkan agar harga jual rokok dipatok mahal, dengan cara menaikkan tarif cukai rokok. Tarif cukai rokok di Indonesia saat ini batas maksimumnya 57%, dan tidak bisa lebih dari itu.
"Karena di undang-undangnya yang sudah ditetapkan segitu," kata Nasruddin Djoko Surjono menjawab pertanyaan kenapa cukai rokok tidak bisa lebih tinggi dari angka minimal yang ditetapkan WHO sebesar 60%.
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia N Paranietharan menegaskan negara tidak akan merugi apabila menaikkan tarif cukai dan pajak rokok.
Dia menyebut narasi tentang dampak lapangan pekerjaan di industri rokok dan petani tembakau yang akan mati bila cukai terlalu tinggi adalah mitos.
Petani tembakau bisa beralih pada jenis perkebunan lainnya yang bahkan bisa lebih menguntungkan ketimbang hasil jual tembakau. Indonesia adalah negara tropis nan subur dengan kekayaan alam yang melimpah ruah.
Kasubdit Pengawasan Produk Tembakau Badan Pengawas Obat dan Makanan Moriana Hutabarat mengajak masyarakat agar tidak tertipu dengan ancaman pekerja industri rokok akan menganggur karena pengusaha rokok mengurangi produksi sebagai dampak cukai terlalu tinggi.
Nyatanya, produksi rokok nasional yang sebanyak 336,3 miliar batang pada tahun 2017, sebagian besar bukan berasal dari tangan para pekerja melainkan hasil kerja mesin yang bisa memproduksi miliaran batang hanya dengan beberapa karyawan saja yang mengawasi.
Revisi aturan
Banyak hal-hal kecil yang tidak diatur dan tidak ada payung hukumnya tentang rokok, namun berdampak besar bagi perlindungan anak-anak terhadap rokok.
Tidak dipungkiri, sekarang anak-anak remaja masih dengan mudah membeli rokok secara ketengan di warung-warung pinggir jalan.
Moriana menerangkan dirinya di BPOM hanya melakukan pengawasan yang tidak berdampak dengan hanya bertugas untuk mengecek apakah ada label 18+ di kemasan rokok atau tidak.
Sementara di lapangan, anak-anak di bawah usia 18 tahun masih bisa mengakses rokok dan tidak ada yang menindak pelanggaran itu.
Moriana menyebutkan saat ini tidak ada regulasi yang mengatur tentang batas maksimum kadar nikotin dan tar dalam satu batang rokok. Di Indonesia kadar nikotin dan tar paling tinggi sebesar 4 miligram dan rata-rata yang paling banyak beredar di lapangan sebesar 2,5 miligram.
Sementara negara-negara di Eropa membatasi maksimal kadar nikotin dan tar per satu batang rokok sekitar 1 miligram hingga 1,5 miligram.
Guna menutup berbagai kealpaan regulasi pada hal-hal kecil namun penting itu, pemerintah disebutkan tengah membahas beberapa poin perubahan dan penambahan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono mengatakan pemerintah bersama lembaga pemerintah nonkementerian dan berbagai organisasi di masyarakat berupaya untuk mencari poin-poin masalah yang harus diperbaiki dalam PP tersebut.
Anung menyebut beberapa poin sedang dalam pembahasan dengan target disahkannya revisi PP tersebut pada tahun ini juga.
Dia menyebutkan beberapa di antaranya ialah perubahan peringatan kesehatan bergambar (public health warning, PHW) dalam iklan dan kemasan rokok, mengenai peraturan iklan rokok yang tidak disertai dengan PHW di beberapa media iklan, tata cara dan konsep iklan rokok, peraturan mengenai rokok elektrik, serta peningkatan pengawasan penjualan produk rokok.
Anung menegaskan revisi PP 109/2012 tidak akan tumpang tindih atau tereduksi kekuatan hukumnya apabila RUU Pertembakauan jadi disahkan.
Dia menegaskan Kementerian Kesehatan dengan terang benderang menolak RUU tersebut. Namun apabila RUU Pertembakauan tetap berjalan, kubu antitembakau yang lebih mementingkan kesehatan dan SDM Indonesia yang tidak ingin dirusak oleh dampak rokok, akan memperjuangkan regulasi lain untuk pengendalian konsumsi rokok.