Teknologi RDF: Solusi sampah atau hanya menambah masalah?
Raut muka Afrizal, 29 tahun, terlihat lelah. Ia tampak kepayahanmembersihkan mobil pengangkut sampah yang terparkir di depan tempat pengolahan sampah landfill mining dan refused-derived fuel (RDF) plant di TPST Bantargebang Bekasi, Jawa Barat, Senin (10/4) siang itu.
Rizal, sapaan akrab Afrizal, baru saja mengirim tumpukan sampah kering ke dalam pengolahan sampah milik Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu. Nantinya, sampah-sampah itu bakal diolah menjadi pelet RDF untuk bahan bakar pembangkit listrik dan industri kontruksi.
"Setiap hari ngirim ke sini (tempat pengolahan sampah). Dari tahun lalu, sudah mulai aktif RDF plant ini," ujar Rizal saat berbincang dengan Alinea.id di TPST Bantargebang.
Menurut Rizal, tidak semua jenis sampah bisa diolah menjadi RDF. Hanya sampah-sampah yang mengandung kalor tinggi yang ia kirimkan ke RDF plant. "Kayak puing bangunan tuh enggak bisa. Yang enggak mudah kebakar kayak logam tuh juga enggak bisa," jelas petugas TPST Bantargebang itu.
Rizal tidak tahu pasti spesifikasi sampah yang dapat diolah menjadi RDF. Menyortir sampah, kata dia, menjadi tugas kerja pegawai yang menempati gedung di sudut timur TPST Bantargebang. "Jadi, nanti di dalam disortir lagi mana yang bakal jadi RDF. Kami hanya bawa," imbuhnya.
Siang itu, Alinea.id berniat melihat proses pengolahan sampah menjadi bahan bakar. Meskipun sudah mengantongi izin liputan, Alinea.id dilarang seorang petugas TPST Bantargebang memasuki area pengolahan RDF.
Pria paruh baya itu menegaskan tempat pengolahan RDF Bantargebang tak bisa sembarangan dimasuki. Tamu dari luar, kata dia, harus didampingi petugas dari Dinas Lingkungan Hidup (LH) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. "Pokoknya, kami enggak kasih izin," cetus dia.
Meski begitu, Kepala Seksi Humas Dinas LH DKI Jakarta Yogi Ikhwan menjelaskan TPST Bantargebang bisa mengolah hingga 2.000 ton sampah menjadi pelet RDF setiap harinya. "Ada PLTSa (pembangkit listrtik tenaga sampah) 100 ton per hari ada RDF plant 2.000 ton per hari," kata Yogi kepada Alinea.id.
Produk olahan itu disalurkan ke sejumlah offtaker atau pemasok kebutuhan industri, semisal PT. Indocement dan PT. Solusi Bangun Indonesia. Satu ton pelet RDF dihargai Rp350 ribu. Oleh perusahaan, pelet RDF dipakai sebagai bahan bakar alternatif pengganti batubara.
TPST Bantargebang satu dari segelintir TPST yang telah mengaplikasikan teknologi RDF. Selain di Bantargebang, RDF plant berteknologi membran bio-dry sudah dibangun di Cilacap oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutananan (KLHK). Beroperasi sejak Juli 2020, TPST Cilacap bisa mengolah 160 ton sampah menjadi pelet RDF per hari.
Awal April lalu, TPS Cicukang Holis, Bandung, juga mulai mengaplikasikan teknologi RDF untuk mengolah sampah. Namun, kapasitasnya masih tergolong kecil. Dari sekitar 10 ton sampah, TPS Cicukang Holis hanya mampu menghasilkan 4 ton pelet RDF.
Rencana replikasi
Direktur Pengolahan Sampah KLHK, Novrizal Tahar pengaplikasian teknologi RDF merupakan salah satu strategi KLHK untuk memanfaatkan sampah menjadi energi hijau. Ia menyebut KLHK sedang menggelar uji coba teknologi itu di 54 PLTU milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan 34 pabrik semen yang butuh RDF.
"Kalau 54 PLTU milik PLN dan milik 34 semen itu sudah memang ditetapkan. Tinggal kita inventarisasi yang di luar itu, semisal industri smelter atau mungkin juga power plant. Kayak milik Freeport itu butuh 200 megawatt power plant-nya. Belum lagi industri pupuk dan industri tekstil," ujar Novrizal kepada Alinea.id, Sabtu (15/4).
Jika terealisasi, menurut Novrizal, pabrik pengolahan sampah yang dibangun di 54 PLTU dan 34 pabrik semen bisa menyerap hingga 3,5 juta ton sampah per tahun menjadi RDF. Itu sekitar 5,31 % dari total timbunan sampah di Indonesia.
Jumlah sampah yang diolah jadi RDF, lanjut Novrizal, bisa melonjak signifikan jika teknologi tersebut juga direplikasi di perusahaan-perusahaan swasta besar lainnya. Ia memperkirakan RDF bisa mensubsitusi sekitar 10% kebutuhan batu bara di Indonsia.
"Bahkan, mungkin bisa lebih. Sepuluh persen saja itu 20 juta ton. Jumlah 20 juta ton itu berpotensi besar mengurangi sepertiga atau seperempat dari sampah Indonesia dalam setahun. Jadi, RDF ini memang punya potensi besar untuk menyelesaikan persoalan sampah," kata Novrizal.
Saat ini, Novrizal menyebut KLHK sedang putar otak mencari offtaker yang mau dan bisa menampung RDF. Menurut dia, belum banyak offtaker yang bisa memanfaatan RDF sehingga sampah yang terus menumpuk di TPA dan TPST. Jika dibiarkan dalam jangka waktu lama, tumpukan sampah tersebut potensial mengeluarkan gas metan yang berbahaya.
"RDF ini memang merupakan upaya mitigasi untuk menurunkan gas rumah kaca. Gas metan ini yang notabene itu 28 kali lipat menghasilkan efek rumah kaca. Besar itu lumayan dampak buruknya kalau dibiarkan di TPST," ucap Novrizal.
Meski begitu, KLHK sudah punya rencana mereplikasi teknologi RDF di sejumlah daerah. "Setelah di Cilacap, akan dibangun di Padang, tepatnya di Semen Padang. Lalu, akan dibangun di Cilegon di PLTU Suralaya. Tahun 2023, akan mulai ada beberapa, termasuk yang industri smelter," unkap Novrizal.
Teknologi mengolah sampah menjadi bahan bakar juga tengah dikembangkan Pusat Riset Lingkungan dan Teknologi Bersih (PRLTB) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peneliti PRLTB BRIN Wiharja Wiharja menyebut teknologi itu dinamai RDF Merah Putih.
Teknologi RDF Merah Putih, kata Wiharja, dirancang supaya mampu mengolah sampah sebanyak 120 ton per hari menjadi bahan bakar. Sayangnya, BRIN hanya baru berhasil menciptakan alat pengering sampah biologis menggunakan bakteri yang disebut dengan bio-drying. Pengembangan lebih lanjut terkendala minimnya anggaran riset.
"Karena memang saat ini belum dikucurkan dana untuk itu (riset). Beda kondisinya dengan waktu bikin PLTSa. Ada anggaran untuk membangun itu. Sekarang ini, belum ada untuk diserahkan wujud RDF Merah Putih ini," ucap Wiharja kepada Alinea.id.
Teknologi RDF, kata Wiharja, tergolong mahal. Karena itu, pengaplikasiannya tidak bisa serampangan. Pengembangan teknologi itu setidaknya harus di-endorse oleh pemda setempat. Sebelum diaplikasikan, TPST juga harus sudah menyiapkan perusahaan-perusahaan yang bakal jadi offtaker pelet RDF.
"Tidak semua daerah bisa dipaksakan untuk membuat teknologi pengolahan RDF. Sebab, tidak semua punya offtaker. Jadi, tidak bisa asal menjiplak dari daerah A ke daerah B. Tergantung dari karakteristiknya. Kalau dekat dengan offtaker, ya, sudah enggak apa-apa RDF. Tapi, kalau jauh dari RDF, malah nanti sengsara karena mahal di ongkos," ucap Wiharja.
Kesiapan offtaker, kata Wiharja, tak sebatas pada kesediaan membeli dan menampung RDF. Perusahaan-perusahaan juga harus punya teknologi yang mumpuni untuk membakar RDF. Jika dibakar sembarangan, RDF berpotensi melepaskan zat dioksin furan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
"Jadi, tidak bisa asal seperti bakar sampah di tong sampah. Perlu ada sentuhan teknologi di situ. Juga harus ada kontrol yang melekat di situ. Tidak hanya mengontrol orang dan sebagainya. Tetapi, ada parameter dan ada alat kontrolnya. Kemudian bagaimana pembakarannya bisa berjalan sempurna," kata Wiharja.
Tak sembarangan
Ketua Umum Koperasi Energi Terbarukan Indonesia (Kopetindo) Widi Pancono sepakat pengaplikasian teknologi RDF memang tidak bisa serampangan. Selain buangan berupa dioksin furan, pembakaran pelet RDF juga bisa menghasilkan zat klorin.
"Zat klorin berasal dari bahan bakar yang terbuat dari plastik. Zat itu bisa menganggu kerja pengolahan karena itu bisa membuat kerak dan karat pada boiler (ruang bakar ketel uap)," ucap Widi kepada Alinea.id, Sabtu (15/4).
Zat dioksin furan, kata Widi, tidak perlu dikhawatirkan jika pelet RDF dibakar pada suhu melebihi 1.000 derajat Celcius. Sebagai langkah pencegahan, ia meminta pemerintah merancang sejumlah laboratorium untuk mengukur baku mutu RDF agar tidak berbahaya bagi kesehatan.
Di lain sisi, Widi menyarankan agar bahan bakar RDF tak dipakai oleh pabrik-pabrik kecil atau industri berskala rumahan. "Jadi, RDF ini lebih baik untuk teknologi yang sudah sesuai baku mutu tadi dan terkontrol seperti pabrik semen dan PLTU," jelasnya.
Soal rencana KLHK mereplikasi pengaplikasian teknologi RDF di 54 PLTU dan 34 pabrik semen, Widi pesimistis itu bakal mudah terwujud. Sepemahaman dia, tempat pengolahan RDF bakal sulit dibangun berdekatan dengan PLTU dan pabrik-pabrik semen tersebut.
"Offtaker di semen itu lebih banyak, tapi pabrik semen tidak berada setiap tempat. Hanya ada di tempat tertentu. Jadi, memang harus dekat pengolahan RDF terhadap pabrik semen. Kuncinya tidak bisa kalau kita pengen RDF, tapi offtaker enggak ada atau ada, tapi jauh. Enggak ekonomis juga," ucap Widi.
Ihwal buangan pembakaran RDF yang potensial membahayakan kesehatan, Novrizal menyanggah dioksin funran tak akan terbentuk jika pelet RDF dimanfaatkan PLTU dan pabrik semen. Pasalnya, suhu tungku pembakaran milik PLTU dan pabrik semen lazimnya di kisaran 2.000-2.500 derajat Celcius.
"Secara teori, dioksin furan itu tidak akan terbentuk di atas 850 derajat Celsius. Kami juga ada baku mutunya sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan Kegiatan Pengolahan Sampah secara Termal," ucap Novrizal.
Ia berjanji KLHK juga akan selektif dalam merekomendasikan pengaplikasian teknologi pengolahan sampah RDF. "Yang kita dorong adalah industri semen dan smelter yang teknologinya sudah high technology," ucap Novrizal.