Ombudsman menemukan pabrik semen mengolah limbah medis karena tidak ada pengelolaan lanjutan. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Keasistenan Pencegahan Malaadministrasi Keasistenan Utama Substansi 6 Ombudsman, Mory Yana Gultom, menyebut sampai tahap pembakaran residunya tidak ada.
Menurutnya, praktik tersebut juga tidak dilakukan pengolahan tahap berikutnya. Hanya saja, Mory tak menyebutkan pabrik semen mana yang melakukan pembakaran limbah medis.
"Kalau merujuk pada tahapan pengolahan limbah medis, seharusnya tahapannya harus sampai ke penimbunan. Dan jika tidak punya residu kami meragukan mutu udara di sekitar pabrik semen yang mengolah limbah medis," ujarnya saat konferensi pers virtual, Kamis (4/2).
Sebagai informasi, pengelolaan limbah medis diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 56 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah B3 dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan (fasyankes).
Masalah tahapan pengelolaan limbah medis juga ada pada perjanjian. Mory menjelaskan, seharusnya dalam kerja sama turut menyertakan pihak pengolah, bukan hanya pengangkut dan penghasil.
Akibatnya, penghasil limbah medis tak tahu bagaimana tahapan berikutnya dalam mengolah sampah itu. "Kemudian juga ada daerah yang tidak ada pengangkut (limbah medis) sama sekali, sehingga limbah hanya sampai di tahap penyimpanan dan tidak ada upaya khusus dari fasyankes untuk pengelolaan limbah medis," ucapnya.
Sementara pada tahap penguburan, kata Mory, ada fasyankes yang mengubur limbah medis tanpa izin. Padahal, kegiatan itu harus seizin pemerintah daerah (pemda). Namun, di Kota Ambon yang melakukan malah pemerintah kota (pemkot).
"Di Kota Ambon, melakukan penguburan sendiri oleh Pemkot Ambon. Padahal, pemkot itu seharusnya sebagai regulator atau sekaligus sebagai pengawas, dan yang seharusnya melakukan penguburan adalah fasyankes," ucapnya.
Dalam tahap penimbunan, Mory mengaku, hanya mendapati satu badan usaha penimbun limbah medis yang terletak di Jawa Barat. Kondisi ini membuat fasyankes memilih menimbun sendiri tanpa izin, sebab biaya angkut ke penimbunan menjadi mahal.
Sebelumnya, Ombudsman menemukan adanya potensi limbah medis tak terolah mencapai 200 ton per hari. Prediksi bisa terjadi jika pengelolaan limbah dilakukan tidak sesuai aturan yang ada.
Sementara kajian Ombudsman mengenai pengelolaan limbah medis bekerja sama dengan kantor wilayah di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Bangka Belitung, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Riau, Bali, Kepulauan Riau, Maluku, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat dan Banten.