Tepatkah adopsi restorative justice pada pidana pemilu?
Komisi III DPR mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) mengedapankan keadilan restoratif (restorative justice/RJ) dalam penanganan tindak pidana pemilu. Usul ini disampaikan menyusul banyaknya kendala yang dihadapi aparat saat melakukan pengusutan.
Alasan lain, ungkap anggota Komisi III DPR asal Fraksi Partai Golkar, Supriansa, jumlah warga binaan di lembaga pemasyarakatan (lapas) sudah melampaui kapasitas (overkapasitas). Penerapan keadilan restoratif diklaim menjadi jawaban atas masalah tersebut.
"Restorative justice ini bisa menjawab [masalah] penjara overkapasitas," ucapnya dalam rapat kerja bersama Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin, di Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu lalu. Ia pun sesumbar Kejagung akan menyelematkan demokrasi jika mengedepankan keadilan restoratif.
Ada berbagai jenis tindak pidana pemilu dalam Pasal 488 hingga Pasal 554 Undang-Undang (UU) Pemilu. Hukumannya beragam mulai dari dipidana maksimal 6 bulan penjara dan denda sebanyak-banyak Rp6 juta hingga 6 tahun penjara dan denda setinggi-tingginya Rp100 miliar.
Merujuk Pasal 554, ancaman hukuman bagi penyelenggara pemilu, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ditambah 1/3 ketentuan pidana dalam UU Pemilu. Adapun jenis-jenis pelanggarannya tertuang dalam Pasal 488, Pasal 491, Pasal 492, Pasal 500, Pasal 504, Pasal 509, Pasal 510, Pasal 511, Pasal 518, Pasal 520, Pasal 523, Pasal 525 ayat (l), Pasal 526 ayat (1), Pasal 531, Pasal 532, Pasal 533, Pasal 534, Pasal 535, dan Pasal 536.
Penanganan kasus dugaan pelanggaran pemilu dilakukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), yang beranggotakan Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan. Setelah tahap penyelidikan dan penyidikan, sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2018, kasus dilimpahkan ke pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi (PT) jika ada banding.
Aspirasi senada dilontarkan anggota Komisi III DPR asal Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Sarifuddin Sudding. Kilahnya, banyak yang belum mengetahui pidana yang dilakukan. Dicontohkannya dengan beberapa kepala desa yang terjerat penyimpangan dana desa.
"Saya minta ada instruksi yang jelas diberikan ke bawah, bahwa ketika ada yang dianggap penyalahgunaan di bawah Rp100 juta, misalnya, dilakukan RJ dengan syarat [kerugian negara] dikembalikan," tuturnya. "Masih ada kepala desa [yang kerugian negara] dikembalikan, tapi masih dipanggil bolak-balik bahkan ada upaya pemerasan."
Tidak tepat
Pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menilai, usulan menerapkan keadilan restoratif dalam penanganan tindak pidana pemilu tidak tepat. Ia pun menyarankan permintaan tersebut sebaiknya dikubur dalam-dalam.
Ia menyampaikan demikian karena keadilan restoratif adalah penyelesaian tindak pidana secara adil dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga masing-masing, hingga pemangku kepentingan melalui perdamaian dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula. Dasar hukumnya adalah Pasal 310 KUHP, Pasal 205 KUHAP, dan Perma Nomor 2 Tahun 2012.
Selain itu, perkara pidana yang dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif adalah pelanggaran Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan 483 KUHP atau pelaku terancam penjara maksimal 3 bulan atau denda Rp2,5 juta. Pun bisa diterapkan dalam menyelesaikan tindak pidana anak, perempuan yang berhadapan dengan hukum, narkotika, informasi dan transaksi elektronik (ITE), dan lalu lintas.
"Tidak bisa [terapkan keadilan restoratif dalam pengusutan tindak pidana pemilu], bukan tidak perlu [diterapkan]," katanya kepada Alinea.id, Rabu (22/11).
Chairul pun menyarankan ST Burhanudin harus meneladani seniornya, Baharudin Lopa. Ia menerangkan, kinerja apik yang ditunjukkan Baharuddin Lopa menarik perhatian Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Lopa sempat menanganani kasus terkait kroni Soeharto. Bahkan, saat didapuk menjadi Menteri Kehakiman dan HAM (9 Februari-2 Juni 2001), ia sempat menjebloskan seorang pengusaha kayu dan eks Menteri Perindustrian, Bob Hasan, ke penjara.
Keberanian itu, menurut Chairul, harusnya ditiru Burhanuddin sebagai Jaksa Agung. Karenanya, banyaknya pelanggaran pemilu dengan ancaman hukuman di bawah 5 tahun semestinya tidak dikeluhkan.
"Jaksa Agung belum meneladani Baharuddin Lopa," tegasnya. Ia pun mengingatkan, "Sepanjang punya integritas yang baik, undang-undang yang buruk juga dapat menegakkan hukum dengan baik."
Pernyataan senada diutarakan Program Manager Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhani. Ia berpendapat, permintaan Komisi III DPR itu tidak tepat, apalagi penerapan keadilan restoratif tidak berarti meniadakan sanksi terhadap pelaku pelanggaran.
Ia berpandangan, tahapan pemilu masih sangat begitu sempit, tetapi aturan dan larangannya sudah terlihat jelas. Karenanya, ketentuan yang ada mestinya dilaksanakan dengan baik.
"Tidak tepat juga ada restorative justice dan konsepnya restorative justice tidak meniadakan sanksi terhadap pelaku pelanggaran pemilu,” tuturnya kepada Alinea.id.
Menurut Fadhil, seharusnya penegakan dalam ranah ini harus digalakkan. Pangkalnya, pelanggaran dalam pemilu merusak keadilan dan hak konstitusi warga.
"Kalau mau diusulkan, nanti saja untuk [Pemilu] 2029. Sedangkan ada sanksi pidana saja masih ringan semua," ucapnya.
Beberapa jenis tindak pidana pemilu dalam Pasal 488-Pasal 554 UU Pemilu:
1. Membuat tindakan/keputusan yang menguntungkan/rugikan salah satu pasangan calon (paslon);
2. Melakukan penghinaan, fitnah, dan hasut atau kampanye hitam (black campaign);
3. Merusak alat peragam kampanye (APK);
4. Melakukan pemalsuan;
5. Memberikan uang, janji, atau materi lainnya (politik uang);
6. Memberikan suaranya lebih dari 1 kali;
7. Kampanye di luar jadwal;
8. Melibatkan ASN dan kades/lurah dalam kampanye;
9. Mengacau, menghalangi, atau menganggu jalannya kampanye;
10. Menyuruh orang lain yang tidak berhak memilih memberikan suara;
11. Dengan sengaja memberikan suara, padahal tidak berhak memilih;
12. Menggagalkan pemungutan suara;
13. Menyalahgunakan wewenang/jabatan;
14. Menyebabkan orang lain kehilangan hak pilih;
15. Menghilangkan hak seseorang menjadi calon;
16. Melanggar aturan dana kampanye;
17. Menghalangi penyelenggara pemilu melaksanakan tugas;
18. Mendaftarkan paslon tidak sesuai surat keputusan (SK) partai politik (parpol);
19. Menggunakan kekerasan/ancaman kekerasan dalam kampanye;
20. Mengubah, merusak, dan/atau menghilangkan hasil pemungutan dan penghitungan suara;
21. Mutasi pejabat 6 bulan sebelum pemilihan; dan
22. Kampanye dengan cara pawai.
Ancaman hukuman atas pelanggaran pidana pemilu:
1. Penjara maksimal 6 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp6 juta diatur dalam Pasal 489 dan Pasal 495 ayat (2).
2. Penjara maksimal 1 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp12 juta (Pasal 488, Pasal 490-494, Pasal 495 ayat (1), Pasal 496, dan Pasal 498-509).
3. Penjara maksimal 18 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp18 juta (Pasal 516, Pasal 524, Pasal 533, Pasal 537, dan Pasal 540 ayat (1) dan ayat (2)).
4. Penjara maksimal 2 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp24 juta (Pasal 497, Pasal 510, Pasal 513-514, Pasal 521-522, Pasal 523 ayat (1), Pasal 524 ayat (1), Pasal 531, Pasal 538-539, Pasal 541, Pasal 543, dan Pasal 549-551).
5. Penjara maksimal 3 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp36 juta (Pasal 511-512, Pasal 515, Pasal 518-519, Pasal 523 ayat (3), Pasal 527, Pasal 534-536, dan Pasal 545-548).
6. Penjara maksimal 4 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp48 juta (Pasal 523 ayat (2) dan Pasal 532).
7. Penjara maksimal 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp60 juta (Pasal 517 dan Pasal 542).
8. Penjara maksimal 6 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp72 juta (Pasal 520 dan Pasal 544).
9. Penjara maksimal 2 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp500 juta (Pasal 525 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 526 ayat (1) dan ayat (2)).
10. Penjara maksimal 2 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp5 miliar (Pasal 529-530).
11. Penjara maksimal 2 tahun dan denda sebanyak-banyaknya 3 kali dari nilai sumbangan yang diterima (Pasal 528 ayat (2)).
12. Penjara maksimal 3 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp1 miliar (Pasal 548).
13. Penjara maksimal 4 tahun dan denda sebanyak-banyaknya 3 kali dari nilai sumbangan yang diterima (Pasal 528 ayat (1)).
14. Penjara maksimal 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 50 miliar (Pasal 552 ayat (1) dan ayat (2)).
15. Penjara maksimal 6 tahun dan denda sebanyak-banyak Rp100 miliar (Pasal 553 ayat (1) dan ayat (2)).
16. Ancaman hukuman bagi penyelenggara pemilu ditambah 1/3 dari ketentuan dalam UU Pemilu (Pasal 554).