Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), Hasto Kristiyanto meminta Harun Masiku menyerahkan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasalnya, eks caleg PDIP itu dianggap korban atas penanganan perkara suap penetapan anggota DPR RI melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
"Tim hukum kami mengimbau (Harun Masiku) untuk bersikap kooperatif. Tidak perlu takut. Karena, dari seluruh konstruksi hukum yang dilakukan oleh tim hukum kami, beliau (Harun Masiku) menjadi korban karena tindak penyalahgunaan kekuasaan itu," kata Hasto di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (24/1).
Bagi Hasto, perkara dugaan korupsi yang ditangani KPK itu merupakan persoalan sederhana. Sebab, kata dia, langkah PDIP untuk menaikkan Harun terkait dengan keputusan Mahkamah Agung (MA).
"Saudara Harun, memiliki hak untuk dinyatakan sebagai calon anggota legislatif terpilih setelah pelaksanaan keputusan MA tersebut, hanya ini ada pihak yang menghalang-halangi," terang Hasto.
Adapun putusan MA yang dimaksud Hasto adalah terkait uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara pada 19 Juli 2019. Putusan MA itu menyebut partai adalah penentu suara untuk menetapkan pengganti dari calon meninggal dunia.
Menanggapi Sekjen PDIP itu, Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri menilai pernyataan bahwa Harun merupakan korban merupakan kesimpulan yang terlalu dini. Sebab, lanjut Fikri, KPK menetapkan Harun sebagai tersangka sudah sesuai dengan ketentuan yang ada.
Dia menegaskan, penetapan Harun sebagai tersangka berlandaskan dengan dua alat bukti yang cukup. Karena itu, dia menampik pernyataan Hasto, bahwa Harun Masiku bukan korban.
"Kami yakini, alat bukti yang kami miliki cukup, bahwa tersangka ini adalah dugaan pelaku tindak pidana korupsi suap menyuap. Bagi kami, (penyataan Hasto) itu terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa tersangka adalah korban," tegas Fikri.
Diketahui, Harun diduga menyuap Wahyu Setiawan dengan memberikan sejumlah uang kepada Wahyu untuk memuluskan pergantian anggota DPR RI dari PDIP melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW). Suap kepada Wahyu oleh Harun dibantu mantan anggota Bawaslu, Agustiani Tio Fridelina dan seorang kader PDIP, yakni Saeful Bahri.
Wahyu diduga telah meminta uang sebesar Rp900 juta kepada Harun untuk memuluskan tujuannya. Permintaan itu kemudian dipenuhi oleh Harun. Namun, uang yang diminta Wahyu baru disetorkan sebesar Rp600 juta yang diberikan secara bertahap dalam dua kali transaksi, yakni pada pertengahan dan akhir Desember 2019.
Pada pemberian pertama, Wahyu diduga menerima Rp200 juta dari pemberian Rp400 juta oleh sumber yang belum diketahui KPK. Uang tersebut diterimanya melalui Agustiani di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan.
Tahap kedua, Harun diduga memberikan Rp850 juta pada Saeful melalui seorang stafnya di DPP PDIP. Saeful kemudian memberikan Rp150 juta kepada Doni selaku advokat. Adapun sisanya senilai Rp700 juta diberikan kepada Agustiani dengan rincian Rp250 juta untuk operasional dan Rp400 juta untuk Wahyu Setiawan.
Namun upaya Wahyu menjadikan Harun sebagai anggota DPR RI pengganti Nazarudin Kiemas yang sudah meninggal takberjalan mulus. Hal ini lantaran rapat pleno KPU pada 7 Januari 2020 menolak permohonan PDIP untuk menetapkan Harun Masiku sebagai anggota DPR lewat mekanisme PAW. KPU bertahan menjadikan Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazarudin Kiemas.
Meski demikian, Wahyu tak berkecil hati. Dia menghubungi Doni dan menyampaikan tetap berupaya menjadikan Harun Masiku sebagai anggota dewan PAW. Untuk itu, pada 8 Januari 2020 Wahyu meminta uang yang diberikan Harun kepada Agustina. Namun saat hendak menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu, penyidik KPK menangkap Agustiani dengan barang bukti Rp400 juta dalam bentuk dolar Singapura.
Sebagai pihak penerima, Wahyu dan Agustiani disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lalu, Harun dan Saeful selaku pemberi disangkakan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Tipikor Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.