Tim advokasi Novel Baswedan merasa janggal atas proses peradilan kedua terdakwa yang diduga menyiram air keras kepada kliennya. Mereka menganggap, proses persidangan sulit untuk menggali fakta materiil.
"Proses persidangan masih jauh dari harapan publik, untuk bisa menggali fakta-fakta sebenarnya (materiil) dalam kasus ini. Tim advokasi Novel Baswedan, yang sejak awal turut memantau jalannya persidangan menemukan berbagai kejanggalan," kata anggota tim advokasi Novel Baswedan, Arif Maulana, dalam keterangan resmi, Senin (11/5).
Terdapat, sembilan kejanggalan yang ditemukan tim advokasi Novel Basweda, sepanjang kali keempat sidang dilakukan. Pertama, dakwaan jaksa dianggap skenario untuk menutup pengungkapan aktor intelektual dan menghukum ringan pelaku.
Kejanggalan itu, ketika perbuatan kedua terdawka dakwaan hanya dinilai sebagai tindak pidana penganiayaan biasa, yang tidak ada kaitannya dengan kerja pemberantasan korupsi dan teror sistematis pelemahan KPK.
"Dalam dakwaan JPU, tidak terdapat fakta atau informasi siapa yang menyuruh melakukan tindak pidana penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Patut diduga, jaksa sebagai pengendali penyidikan satu skenario dengan kepolisian mengusut kasus hanya sampai pelaku lapangan," tuturnya.
Kedua, JPU dinilai tidak menjadi representasi negara yang mewakili kepentingan korban. Namun, malah membela kepentingan para terdakwa. Anggapan itu berdasar, pada perbuatan dua terdakwa yang hanya dinilai perbuatan penganiayaan biasa, dan menyebutkan air yang digunakan kedua pelaku berasal dari air aki.
"Tentu ini pernyataan sesat, sebab sudah terang benderang bahwa cairan tersebut adalah air keras yang telah menyebabkan Novel Baswedan kehilangan penglihatan," ucapnya.
Ketiga, majelis hakim dinilai pasif dan tidak objektif dalam mencari kebenaran materiil. Hal ini, dibuktikan dalam persidangan pemeriksaan Novel. Majelis hakim dinilai, tidak mendalami informasi nama dan peristiwa yang berkaitan dengan penyerangan. "Jika demikian, cara kerja hakim diperkirakan akan menutup peluang untuk membongkar kejahatan sistematis ini," ucap dia.
Semestinya, kata Arif, hakim dapat menggali dari keterangan saksi atau alat bukti lain agar sampai pada tujuan utama persidangan, yakni mencari kebenaran materiil. "Sehingga mampu membongkar tidak hanya pelaku lapangan penyerang namun juga pengintai dan para aktor intelektualnya," ujar Arif.
Keempat, bantuan hukum terhadap kedua terdakwa oleh Polri. Arif justru mempertanyakan sikap Korps Bhayangkara yang memberi bantuan hukum kepada dua pelaku. Pasalnya, bantuan tersebut akan menghambat proses hukum untuk membongkar kasus itu yang diduga melibatkan anggotanya dan juga petinggi kepolisian.
"Terdapat konflik kepentingan yang nyata yang akan menutup peluang membongkar kasus ini secara terang benderang dan menangkap pelaku sebenarnya, bukan hanya pelaku lapangan namun juga otak pelaku kejahatan," papar Arif.
Kelima, adanya dugaan manipulasi barang bukti di persidangan. Anggapan ini berasal, diabaikannya sejumlah barang bukti yang untuk didalami informasinya, seperti baju Novel yang dipakai saat peristiwa penyerangan terjadi.
"Dalam persidangan Kamis, 30 April 2020, ditemukan keanehan dalam barang bukti baju muslim yang dikenakan Novel Baswedan pada saat kejadian. Baju yang pada saat kejadian utuh, dalam persidangan ditunjukkan hakim dalam kondisi terpotong sebagian dibagian depan. Diduga bagian yang hilang terdapat bekas dampak air keras," bebernya.
Keenam, JPU dinilai telah mengaburkan fakta air keras yang digunakan pelaku untuk penyiraman. Menurutnya, hal itu telah bertentangan dengan temuan Komnas HAM, 21 Desember 2018 yang merilis hasil temuan terhadap kasus Novel Baswedan.
Ketujuh, penyinggungan kasus kriminalisasi Novel diangkat untuk mengaburkan fokus pengungkapan penyerang. Mereka menilai, isu tersebut tidak relevan untuk disinggung dalam persidangan. Cara itu dinilai, hanya ingin mengalihkan perhatian untuk mengaburkan fakta penyerangan terhadap Novel.
Kedelapan, dihilangkannya alat bukti saksi dalam berkas persidangan. Hal ini, diketahui dari JPU yang tidak melampirkan keterangan Novel kepada pihak kepolisian, Komnas HAM, TGPF bentukan Polri dalam berkas acara pemeriksaan.
"Berkas BAP-nya, diduga dihilangkan dan tidak diikutkan dalam berkas pemeriksaan persidangan oleh jaksa. Hal ini, merupakan temuan dugaan pelanggaran serius, bentuk upaya sistematis untuk menghentikan upaya membongkar kasus penyerangan Novel Baswedan secara terang," ujar Arif.
Kesembilan, diduga telah dikerahkan aparat kepolisian dan sejumlah orang untuk menghadiri sidang saat Novel Baswedan menjadi saksi pada 30 April 2020.
"Bangku pengunjung yang mestinya dapat digunakan secara bergantian oleh seluruh pengunjung, 'dikuasai' oleh orang-orang tertentu, sehingga publik maupun kuasa hukum dan media yang meliput tidak dapat menggunakan fasilitas bangku pengunjung untuk memantau proses persidangan," tutup Arif.