close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi vaksinasi Covid-19. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi vaksinasi Covid-19. Alinea.id/Bagus Priyo.
Nasional
Rabu, 07 Juli 2021 16:54

Mengapa bisa terinfeksi Covid-19 usai divaksinasi?

Sejumlah orang terinfeksi Covid-19, walau sudah menerima dua dosis vaksin. Apa penyebabnya?
swipe

Suratno—akrab disapa Eno—tak bisa menyembunyikan rasa khawatir dan cemas ketika mengetahui istrinya terkonfirmasi positif Covid-19 pada Sabtu (3/7). Setelah itu, pria yang bekerja sebagai jurnalis di sebuah media online di Jakarta tersebut berinisiatif melakukan tes usap. Hasilnya, ia pun terkonfirmasi positif Covid-19 pada Senin (5/7).

“Sejak istri kena (terpapar virus), saya sudah pakai masker dua lapis dan jaga jarak. Tapi tetap kena. Badan saya menggigil, batuk hebat, dan kesulitan bernapas karena hidung penuh cairan,” ujar Eno saat dihubungi Alinea.id, Senin (5/7).

Eno juga merasakan gejala demam tinggi dan linu. Menurut Eno, istrinya pun mengalami gejala seperti linu, demam, sakit tenggorokan, hilang indra penciuman dan perasa, serta kepala pusing.

Eno menduga, ia dan istri terpapar Covid-19 usai berkumpul keluarga pada Senin (28/6). Sebab, saat itu salah seorang keluarganya ada yang sakit. Pada Rabu (30/6), mereka mengunjungi kerabat pula di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Di sana, beberapa kerabatnya pun ada yang sakit.

"Kerabat kami sudah pada bersin-bersin," kata Eno.

Setelah dinyatakan positif Covid-19, Eno merasa heran. Pasalnya, ia dan istrinya telah mendapatkan suntikan vaksin Covid-19.

“Saya baru satu dosis, sedangkan istri saya sudah dua dosis. Tapi, tetap bergejala dan cukup mengganggu,” tuturnya.

Eno menerima vaksinasi pertama pada awal Juni 2021, sedangkan sang istri telah mendapatkan dua kali suntik pada awal April 2021. “Saya dapat vaksin AstraZeneca, kalau istri saya Sinovac,” kata Eno.

Seorang tenaga kesehatan yang bertugas di bilangan Sukasari, Bandung, Jawa Barat, Witri Purnamasari pun mengalami hal serupa. Perempuan berusia 27 tahun itu mengaku, sudah dua kali terinfeksi Covid-19 dengan gejala sedang.

Witri mengatakan, pertama kali terpapar Covid-19 usai mudik ke kampung halamannya di Cianjur saat libur Idulfitri. Sementara paparan Covid-19 yang kedua terjadi usai mengunjungi kerabatnya di Jakarta pada akhir Juni 2021.

“Gejala awalnya demam selama tujuh hari. Hari ke-8 flu berat, batuk, anosmia, dan indra pengecapan hilang,” ujar Witri saat dihubungi, Senin (5/7).

“Sekarang di hari ke-10 gejalanya tinggal badan ngilu dan lemas.”

Witri mengaku heran, ia terpapar Covid-19 yang kedua kalinya. Padahal, ia sudah divaksinasi. “Saya vaksin kedua tanggal 20 Maret 2021,” kata dia.

Sumbangan satu juta vaksin AstraZeneca dari Jepang saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Banten, Kamis (1/7/2021). /Kedubes Jepang di Indonesia.

Mengapa masih terinfeksi?

Meski belum ada data yang jelas di Indonesia, setidaknya pengalaman Eno dan Witri membuktikan bahwa walau sudah disuntik vaksin Covid-19, seseorang masih berisiko terinfeksi Covid-19 dengan gejala ringan hingga sedang.

Selain itu, berdasarkan data Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), seperti dikutip dari BBC Indonesia edisi 29 Juni 2021, ada 949 tenaga kesehatan yang meninggal karena Covid-19. Dari jumlah itu, sebanyak 20 dokter dan 10 perawat meninggal meski sudah menerima vaksinasi.

Sementara menurut laporan Stanley Widianto dan Kate Lamb dalam Reuters edisi 17 Juni 2021 menyebut, lebih dari 350 dokter dan pekerja medis tertular Covid-19, walau sudah divaksinasi dengan Sinovac. Puluhan tenaga kesehatan di antaranya harus dirawat di rumah sakit dengan demam tinggi dan penurunan saturasi oksigen.

Menanggapi hal ini, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular sekaligus juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan, terdapat banyak faktor yang bisa menyebabkan seseorang bisa terinfeksi Covid-19 dengan gejala berat, bahkan meninggal dunia, meski sudah divaksin.

“Walau sudah vaksin, penularan masih sangat mungkin. Karena efikasinya 62%-63%, bukan 100%,” kata Nadia saat dihubungi, Senin (5/7).

“Jadi, bukan berarti setelah divaksin, kita jadi superman.”

Nadia mengatakan, faktor penyakit penyerta bisa menjadi penyebab utama seseorang kehilangan nyawa saat terinfeksi Covid-19, walau sudah menerima vaksin. Alasannya, seseorang tetap akan memiliki tingkat imunitas yang berbeda-beda.

"Faktor komorbid bisa menambah kerentanan. Sistem kekebalan tubuh seseorang yang dibangun kan enggak bisa sama juga,” ucapnya.

“Efektivitas vaksin sangat dipengaruhi oleh faktor manusianya.”

Sementara itu, Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (Komnas KIPI) Hinky Hindra Irawan Satari menyebut beberapa faktor yang menyebabkan seseorang masih terpapar Covid-19 dengan gejala atau meninggal, walau sudah divaksin.

Pertama, tak semua individu memperoleh antibodi yang baik usai divaksin. Menurut dia, imun setiap orang berbeda-beda dalam merespons vaksin yang masuk.

“Jadi, sangat individual. Ada yang daya tahan tubuhnya jadi bagus, ada pula yang tidak,” ujar dia saat dihubungi, Senin (5/7).

Kedua, bisa saja dipengaruhi lingkungan yang kurang taat protokol kesehatan atau terlalu banyak virus yang beredar di tengah-tengah masyarakat. Maka, perlahan membuat tubuh rentan.

Ketiga, kata dia, kemungkinan besar virusnya semakin ganas. Sehingga pertahanan antibodi jebol dan membuat seseorang bisa bergejala berat atau meninggal dunia saat terinfeksi, meski sudah divaksinasi.

Terkait seseorang yang meninggal karena terpapar Covid-19, meski sudah divaksin—termasuk tenaga kesehatan—Hindra menuturkan, hal itu bisa disebabkan karena faktor lain yang lebih dominan ketimbang Covid-19.

“Jadi enggak sederhana cuma satu parameter,” kata dia.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) sekaligus Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cissy Rachiana Sudjana Prawira Kartasasmita mengatakan, saat ini sudah banyak varian baru Covid-19.

Presiden Joko Widodo meninjau pelaksanaan vaksinasi massal di Hotel Dalton, Makassar, Kamis (18/3/2021)./Foto Humas Setkab/setkab.go.id.

Ia menyebut, bisa saja varian baru yang lebih ganas mampu menjebol daya tahan tubuh seseorang yang sudah menerima vaksinasi. Sebab, semua vaksin Covid-19 yang dibuat dan beredar saat ini, kata dia, berasal dari strain virus Corona awal.

“Jadi, jangan terlalu percaya diri atau abai meski sudah divaksin,” tutur Cissy ketika dihubungi, Senin (5/7).

Saat ini, di Indonesia sudah ditemukan varian baru virus Corona, seperti varian B.1.617.2 atau Delta yang berasal dari India, B.1.1.7 atau Alpha yang berasal dari Inggris, B.1.351 atau Beta yang berasal dari Afrika Selatan, dan B.1617.1 atau Kappa yang merupakan turunan dari Delta.

“Varian baru, kenapa timbul? Karena virus ini mempertahankan dirinya, jadi mengubah sedikit dan banyak (bentuknya),” ucapnya.

“Nah, sekarang dikatakan yang paling gampang ‘melompat’ adalah Delta. Sehingga menyebabkan penyakit yang lebih besar.”

Wacana tiga dosis

Orang yang memiliki penyakit penyerta, ungkap Cissy, tetap harus waspada, kendati sudah divaksin. Sebab, ia menerangkan, vaksin tak sepenuhnya memberi perlindungan yang sempurna.

“Vaksin itu hanya untuk menimbulkan efek antibodi, tapi tak bisa men-trigger 100%,” katanya.

“Biasanya, orang divaksin, dia sakit tapi ringan. Kalau ada komorbid atau daya tahan tubuh lagi jelek, ya maaf saja, bisa kena (Covid-19) dan meninggal.”

Lebih lanjut, Cissy mengaku, sejauh ini belum bisa memastikan seberapa kuat vaksin berbahan virus Corona awal pandemi mampu menahan virus Corona varian baru.

“Enggak tahu berapa persen (proteksi) dari Sinovac. Tapi, kalau AstraZeneca dia 70%, terproteksi untuk tidak dirawat di rumah sakit. Kalau Pfizer katanya 90% masih bisa bekerja untuk variant of concern,” ujar Cissy.

Terkait pemberian dosis ketiga vaksin Covid-19 demi menciptakan efek antibodi yang lebih tinggi, Nadia mengatakan, Kemenkes belum berani memberikannya. Terutama bagi tenaga kesehatan yang berisiko lebih besar terpapar Covid-19. Ia menjelaskan, sejauh ini belum ada rekomendasi berbasis ilmiah yang menganjurkan penyuntikan vaksin Covid-19 dosis ketiga.

Ia mengingatkan, penerapan protokol kesehatan yang ketat merupakan cara paling aman untuk mencegah virus masuk ke dalam tubuh dan mereplikasi diri. “Tapi sayangnya, masih ada masyarakat pakai masker kadang-kadang bolong kiri-kanannya,” kata Nadia.

Hindra pun kurang sepakat bila penambahan dosis vaksin Covid-19 dilakukan untuk memberikan imunitas lebih agar terlindung dari virus. Hindra juga mengungkapkan, belum ada kajian ilmiah yang bisa menjelaskan soal jangka waktu keampuhan vaksin.

"Karena ini vaksin baru, jadi masih diteliti soal itu," kata Hindra.

Infografik Alinea.id/Bagus Priyo.

Sepakat dengan Nadia, Hindra pun mengingatkan soal penerapan protokol kesehatan yang ketat karena tak cukup hanya bergantung dengan vaksin.

Di sisi lain, Cissy mengatakan, penelitian terkait mengukur masa keampuhan vaksin Covid-19 masih diteliti di laboratorium Kemenkes di Bandung. Hal itu untuk mempertimbangkan, kapan waktu yang tepat memberikan dosis ketiga.

“Akan diberikan kalau nanti hasil penelitian menunjukkan kadar antibodi sudah menurun di pasien-pasien yang diteliti. Biasanya di bulan keenam dari penyuntikan. Jadi, kita tunggu hasil penelitiannya,” ujar Cissy.

Ia menilai, bisa berbahaya bila penyuntikan dosis ketiga dipaksakan, tanpa tahu masa habis keampuhan vaksin. Sebab, kata dia, bakal membuat vaksin menjadi tak bekerja maksimal lantaran vaksin yang sudah ada di dalam tubuh akan netral. Padahal, sebenarnya vaksin di dalam tubuh masih dalam performa baik.

“Jadi enggak bisa menghasilkan antibodi yang lebih tinggi. Tapi kalau dia sudah menurun sampai titik tertentu, dikasihkan lagi, dia akan meloncat. Jadi berlipat- lipat," kata Cissy.

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan