Terombang-ambing nasib “penjaga” tsunami InaTEWS di bawah BRIN
Indonesia terletak di daerah dengan tingkat aktivitas gempa bumi tinggi. Tiga lempeng tektonik utama dunia bertemu di negara ini, yakni Samudera Hindia-Australia di selatan, Samudera Pasifik di timur, dan Eurasia. Di Indonesia pun terdapat enam zona subduksi, 13 segmentasi megathrust, dan 295 sesar aktif.
Berdasarkan catatan InaTews: Konsep dan Implementasi yang diterbitkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 2010, sejak 1991 hingga 2009 terjadi 30 kali gempa bumi dan 14 kali tsunami.
Sejarah mencatat, pada 2004 Aceh dihantam gempa dan tsunami paling mematikan, dengan magnitudo 9,3 yang menewaskan lebih dari 200.000 orang. Yang juga membekas adalah gempa dan tsunami yang memporak-porandakan pesisir Banten dan Lampung, serta Palu di Sulawesi Tengah pada 2018.
Berkaca pada kejadian tsunami di Aceh, tak lama kemudian dicanangkan Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) atau sistem peringatan dini tsunami pada pertengahan 2005.
Dalam pengantarnya di InaTews: Konsep dan Implementasi (2010), Kepala BMKG saat itu, Sri Woro B. Harijono mengungkapkan, InaTEWS adalah proyek nasional yang melibatkan berbagai institusi, yakni BMKG, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek).
InaTEWS mendapat bantuan dari Jerman, China, Jepang, Amerika Serikat, Prancis, serta beberapa organisasi dunia. InaTEWS diluncurkan pada November 2008 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“InaTEWS saat ini (tahun 2010) sudah beroperasi, meski belum semua sistemnya terpasang dengan sempurna,” tulis Sri Woro.
“Sistem pemantauan muka tengah laut baru tiga terpasang dari rencana 23, sistem support untuk pengambilan keputusan (decission support system) juga masih memerlukan penyempurnaan.”
Pencapaian dan kendala
Lantas, terbit Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami. Lewat Perpres itu, BPPT bersama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BMKG, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) ditugaskan melakukan penguatan dan pengembangan sistem informasi peringatan dini gempa bumi dan tsunami.
Semenjak itu, masif dilakukan penelitian dan pengembangan teknologi untuk peringatan dini tsunami. Peran BPPT cukup penting dalam mengembangkan alat observasi gempa bumi dan tsunami. Misalnya, memodifikasi buoy (pelampung pendeteksi tsunami) Norwegia pada 2006-2007 (disebut buoy generasi pertama), membuat bouy sendiri pada 2008-2014 (buoy generasi kedua), hingga inovasi buoy generasi ketiga pada 2016.
Tugas BPPT, selain mengembangkan alat observasi gempa bumi dan tsunami, juga memelihara peralatan untuk observasi gempa bumi dan tsunami, serta meriset, mengembangkan, mengkaji, dan inovasi teknologi.
Perekayasa dari BPPT yang enggan disebut namanya, mengaku resah program InaTEWS bakal terbengkalai usai lembaga itu diintegrasikan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Padahal, progres pengembangan teknologi sudah cukup baik. Sebelum diintegrasikan ke BRIN, selain bouy, BPPT merancang sistem deteksi tsunami berbasis teknologi tomografi akustik pesisir yang dinamakan Indonesia Coastal Acoustic Tomography (Ina-CAT), tsunameter berbasis kabel yang dinamakan Indonesia Cable Based Tsunameter (Ina-CBT), dan Indonesia Buoy (Ina-Buoy).
Kala itu, ia mengatakan, perekayasa leluasa menjalankan program karena masih di bawah satu komando manajer proyek. Hasilnya, perekayasa mampu memproduksi 11 unit buoy dan membangun sistem Ina-CAT di Selat Lombok.
“Saat ini saya khawatir masalah administrasinya. Bagaimana kita bisa bekerja seperti dulu?” katanya saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (19/3).
Ia menilai, tak ada itikad serius dari BRIN menggarap program besar yang melibatkan periset lintas unit kerja ini. Progres inovasi alat deteksi tsunami, disebutnya, cukup signifikan.
Ina-Bouy misalnya, terdapat perubahan yang mencolok dari generasi pertama dan kedua. Pada buoy generasi ketiga, perangkat ocean bottom unit (OBU)—alat pendeteksi gelombang yang ditaruh di dasar laut—dan pelampung dibuat terpisah.
Permukaan buoy pun berbentuk streamline, yang mudah lepas jika terjerat jaring nelayan. Bahan permukaan buoy juga menggunakan eva foam (busa eva) yang tak mudah pecah.
“Terus terang, saya (sebagai) engineer siap untuk mengembangkan (progam Ina-TEWS) ini. Tinggal bagaimana kebijakan ke depan akan diberlakukan,” ucapnya.
Tim InaTEWS sudah mencapai target yang dicanangkan dalam peta jalan 2021. Namun, capaian itu masih jauh dari target yang ditetapkan dalam peta jalan 2019-2024. Hingga akhir tahun lalu, tim berhasil menanam enam unit Ina-Bouy, dua Ina-CBT, dan satu Ina-CAT.
Dalam rencana pengembangan dan operasional InaTEWS BPPT 2020-2024 disebut, BPPT akan mengapungkan buoy di 13 lokasi, Ina-CBT di tujuh lokasi, Ina-CAT di tiga lokasi, serta tsunami observation center (Ina-TOC) dan artificial intelligence (AI) tsunami.
Sumber Alinea.id lainnya mendesak BRIN untuk melanjutkan program InaTEWS. Bila tidak, ia khawatir target dalam peta jalan InaTEWS tak tercapai.
“Toh kesepakatan dengan Bappenas sudah dibuat dalam bentuk renstra (rencana strategis) 2019-2024,” ujarnya saat dihubungi, Senin (21/3).
“Ini kalau dihentikan, sayang sekali karena teman-teman susah memulai dan (saat ini sudah) menunjukkan hasil.”
Ia menilai, InaTEWS penting demi keselamatan warga, terutama di daerah pesisir. Ia menyarankan, BRIN fokus melanjutkan InaTEWS dengan menerbitkan surat keterangan penunjukan tugas pada periset.
“Tidak gampang memang mencari pembiayaan dari luar non-APBN,” ujarnya.
“Tetapi jika yakin teknologi ini sangat dibutuhkan secara nasional atau global, tidak menutup kemungkinan untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri.”
Di samping keberlanjutan program, mantan Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) BPPT Djoko Nugroho juga khawatir alat deteksi dini tsunami, seperti buoy, tak terpelihara dengan baik.
“Ada tiga unit buoy yang perlu dilakukan penggantian baterai,” kata Djoko, Sabtu (19/3). Tiga buoy yang dimaksud ada di laut Bengkulu, Cilacap, dan Selat Sunda.
Sejak BPPT diintegrasikan ke BRIN, ia menganggap proses penunjukan tugas pemeliharaan alat deteksi tsunami belum tergambar jelas. Dahulu, dari 16 unit di BPPT yang terlibat pengembangan InaTEWS, ada unit kerja yang bertanggung jawab memelihara alat deteksi tsunami. Pemeliharaan itu penting demi menjaga kualitas buoy.
Tak cuma pemeliharaan, Djoko waswas penyebaran buoy tak optimal lantaran minimnya sumber daya manusia yang dikerahkan. Sebab, kini pegawai eks Balai Teksurla BPPT telah berpencar ke organisasi riset lain.
“Ini yang menyedihkan buat kita akibat alih fungsi SDM,” ucapnya.
Meski begitu, Djoko mengatakan, program InaTEWS masih terus diupayakan berjalan. Salah satu contohnya, BRIN mencabut buoy yang ada di perairan Gunung Anak Krakatau untuk pemeliharaan.
“Karena buoy di situ sudah tidak mengirim data akibat sedimentasi di sana. Sehingga diputuskan untuk tidak menanam (buoy) di lokasi yang sama,” tutur perekayasa di BRIN itu.
Penting dilanjutkan
Sementara itu, mantan Sekretaris Utama BPPT Dadan Moh Nurjaman mengaku, tahun lalu pernah mengajak diskusi Kepala BRIN Laksana Tri Handoko tentang keberlanjutan InaTEWS.
“Beliau masih ragu-ragu dengan hasil teknologi yang dibuat teman-teman InaTEWS, termasuk buoy tsunami dan alat pendeteksi lain, walau progresnya bagus,” kata dia, Selasa (22/3).
Akan tetapi, Kepala BRIN mengapresiasi sejumlah pengembangan alat riset deteksi dini tsunami, seperti Ina-CBT. Namun, karena biaya yang dibutuhkan untuk proyek itu cukup besar, Handoko menyarankan menggandeng perusahaan telekomunikasi.
Sedangkan untuk Ina-Buoy, Handoko menyarankan agar teknologi sensor itu dikembangkan pula untuk kebutuhan lingkungan dan cuaca. Sementara untuk Ina-CAT, ia meragukan alat itu dapat efektif mendeteksi tsunami.
“Beliau juga kurang setuju kalau riset itu ada operasionalisasi,” ucap eks Plt. Kepala Organisasi Riset Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN itu.
Inilah alasan Ina-TOC (Tsunami Observation Center) dihentikan operasionalisasinya sejak integrasi ke BRIN. Sebelum integrasi BPPT ke BRIN, Ina-TOC dijaga oleh tenaga honorer selama 24 jam untuk memastikan alat berfungsi baik.
“Pak Kepala (BRIN) menganggap area operasionalisasi itu bukan di riset, itu ada di BMKG.”
Lebih lanjut, Dadan menuturkan, kendala yang diduga bakal menghambat InaTEWS adalah terpecahnya anggaran program riset di BRIN. Ia sempat menyarankan pada periset untuk meneruskan InaTEWS, yang anggarannya bisa diajukan ke dalam rumah program, guna mengurangi rantai birokrasi.
“Tapi dikritisi juga, (anggarannya) menjadi besar,” kata dia.
“Padahal kalau dibandingkan dengan sebelumnya, anggaran InaTEWS itu ratusan miliar, sekarang kan hanya Rp60 miliar karena terpisah-pisah itu.”
Anggaran InaTEWS tahun ini turun karena tidak ada aktivitas menggelar kabel di bawah laut, sebagai bagian dari Ina-CBT. Meskipun anggaran menurun, Dadan menjelaskan, anggaran riset tersebut termasuk nomor dua terbesar di BRIN. Katanya, hal itu menunjukkan bukti komitmen Kepala BRIN terhadap keberlanjutan InaTEWS.
Ihwal memutus rantai birokrasi, Dadan yakin BRIN akan membuat unit kerja yang fokus pada InaTEWS. Hanya saja, masih memerlukan waktu.
“Masa transisi (organisasi) ini adalah masa menanamkan kepercayaan,” ujarnya.
“Saya kira, kalau waktunya tiba, teman-teman bisa membuktikan hasilnya, kepercayaan itu akan didapatkan dan dijalankan dalam satu komando.”
Di sisi lain, Koordinator Program InaTEWS BRIN, Michael Andreas Purwoadi mengungkapkan, integrasi sejumlah lembaga riset ke dalam BRIN bakal membawa pengaruh positif dalam pelaksanaan InaTEWS. Alasannya, tergabungnya periset dari LAPAN dan LIPI akan meringankan beban kerja perekayasa eks BPPT.
“Misalnya, ada peneliti teknologi acoustic untuk telekomunikasi dari LIPI dan LAPAN, itu menjadi penting juga untuk buoy sebagai elemen komunikasi dari dasar laut ke daratan,” kata Plt. Kepala Pusat Teknologi Elektronika BRIN itu, Selasa (22/3).
Purwoadi yakin program InaTEWS berlanjut. Apalagi, katanya, Kepala BRIN mempunyai ketertarikan terhadap isu lingkungan. Namun, keyakinannya terganjal pada penanggung jawab operasional alat deteksi dini tsunami.
“Berkali-kali Pak Kepala BRIN menyampaikan bahwa operasionalisasi itu bukan ranahnya BRIN, sehingga menginginkan opersionalisasi ada di ranah (instansi) lain,” ucapnya.
Dihubungi terpisah, Koordinator Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menilai, alat InaTEWS amat penting dalam mendeteksi dini tsunami. Pihaknya merasa terbantu oleh teknologi itu.
“Dari aspek tektonik, sumber aktivitas gempa, histori, tidak diragukan lagi bahwa peralatan (InaTEWS) mutlak harus ada sebagai negara yang memiliki sejarah gempa dan tsunami cukup banyak sejak zaman dahulu,” ucap Daryono saat dihubungi, Selasa (22/3).
Peralatan InaTEWS, kata dia, melengkapi perangkat peringatan dini tsunami di Indonesia dan efektif mengirim data akurat terkait bencana. Ia mengakui, saat ini BMKG hanya punya alat deteksi berbasis modeling, seperti seismograf.
“Keberadaan buoy, Ina-CBT, dan Ina-CAT itu penting karena (kami) mendapatkan konfrimasi riil terkait tsunami, yang saat itu (juga) sudah di-warning dan kemudian terjadi,” ujarnya.