Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, meminta para pendengung (buzzer) juga dikenakan hukuman seperti koruptor lantaran kejahatan yang dilakukannya, terutama ujaran kebencian dan rasial, cenderung terorganisasi.
Baginya, unggahan buzzer dalam media sosial tidak mencerminkan ekspresi suasana hati sesungguhnya, tetapi didorong motif instrumental. Dengan demikian, kebencian dan rasial yang disampaikannya tidak bisa lagi digolongkan sebagai dinamika psikologis yang bersifat alamiah.
"Jangan-jangan aksi buzzer yang melakukan pidana di medsos adalah mirip dengan kejahatan terorganisasi. Buzzer sebatas eksekutor lapangan. Di belakangnya ada 'otak' dan penyandang biaya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (2/2).
Reza juga meminta aparat tidak berhenti pada buzzer dalam menegakkan hukum. Perlu pula diproses pula secara mendalam siapa otak dan penyandang dananya.
Berkaca dari kasus korupsi, politikus korup dapat dilarang masuk ke dunia politik. Hukuman serupa sebaiknya diterapkan kepada buzzer.
"Buzzer yang berbuat pidana juga dijatuhi pidana tambahan berupa pelarangan memiliki akun medsos. Dasar berpikirnya adalah pembatasan ruang gerak. Ruang hidup virtual si buzzer harus dibatasi guna mempersempit zona residivismenya,” tutur Reza.
Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) melaporkan Permadi Arya alias Abu Janda ke Bareskrim Polri, 28 Januari lalu, lantaran menganggap Islam arogan via akun Twitter @permadiaktivis1. Laporan tersebut bernomor: LP/B/0052/I/2021/Bareskrim.
Abu Janda dilaporkan atas dugaan melanggar Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) dan/atau Pasal 45 A ayat (2) jo Pasal 25 ayat (2) dan/atau Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Kebencian atau Permusuhan Individu dan/atau Antargolongan (SARA), Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP.