Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan empat tersangka dalam kasus suap Tipikor Pengadilan Negeri (PN) Medan. Salah satu yang dijerat, yakni Hakim Ad Hoc PN Medan Merry Purba.
Oleh penyidik, ia ditetapkan sebagai tersangka, usai penemuan barang bukti 280 dolar Singapura yang diduga masuk kantung pribadinya. Uang itu sendiri didapatkan dari pengusaha Tamin Sukardi untuk memengaruhi putusan dalam perkara yang tengah membelitnya.
Untuk mengelabui aparat, Merry menggunakan kode-kode khusus, seperti ‘pohon’ untuk menyebut uang, dan ‘Ratu kecantikan’ yang merujuk pada hakim.
“KPK mengidentifikasi penggunaan sandi dan kode saat komunikasi dalam perkara ini, seperti pohon yang berarti uang, dan kode untuk nama hakim seperti Ratu Kecantikan,” kata ketua KPK Agus Rahardjo, di Kantor KPK Jakarta, Rabu (29/8).
Akibat aliran dana ini, putusan perkara yang menjerat Tamin Sukardi menjadi lebih ringan. Tamin hanya dihukum enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Padahal, tuntutan jaksa lebih berat empat tahun.
Merry dijerat dijerat Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 ihwal Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi (TIPIKOR), Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Lembaga antirasuah pun terus mendalami kasus dugaan suap ini secara intensif, termasuk ikhwal penetapan tersangka lainnya.
Penggunaan kode sejenis ini mirip seperti kasus korupsi yang terjadi sebelumnya, seperti kode “liqo” dan “Juz” dalam kasus suap pelebaran jalan, yang menjerat politikus PKS Yusi Widiana. Pun kode “apel malang” dan “apel Washington” dalam kasus suap proyek Wisma Atlet Jakabaring.