Kasus kematian mahasiswa Universitas Halu Oleo, Immawan Randi, saat mengikuti aksi unjuk rasa menolak revisi UU KPK dan RUU KUHP di depan Gedung DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara disebut janggal. Kejanggalan itu terindikasi dari mulai proyektil peluru hingga penetapan tersangka penembak Randi yang diduga dilakukan anggota polisi.
Demikian disampaikan Yudin, rekan korban yang juga mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, Sultra. Yudin mengaku turut berdemonstrasi bersama Immawan Randi dan Yusuf Kardawi pada 26 September 2019.
Yudin menuturkan kronologis tewasnya Randi dan Yusuf. Ketika itu, dia bertutur, aksi demonstrasi mahasiswa di Kendari berjalan lancar. Selang beberapa jam kemudian, aksi tidak terkendali lantaran polisi mencoba membubarkan massa dengan gas air mata.
Banyak mahasiswa kemudian yang berhamburan sampai masuk ke gedung Dinas Tenaga Kerja Sultra. "Pembubaran massa oleh polisi awalnya menggunakan gas air mata. Tak lama kemudian terdengar bunyi tembakan. Kami menduga itu berasal dari senjata api," kata Yudin kepada Alinea.id di Jakarta, Rabu (11/12).
Setelah tembakan meletus, Yusuf Kardawi tumbang. Beberapa menit kemudian, Immawan Randi, menyusul. “Immawan Randi meninggal (dalam) perjalanan ke rumah sakit. Untuk Yusuf Kardawi meninggal esok paginya (27/9)," ujar Yudin.
Yudin menjelaskan, perbedaan waktu antara tumbangnya Yusuf dan Randi tidak terlalu jauh. Lokasi keduanya juga di depan pintu gerbang Disnaker Sultra. Dari kesaksian seorang teman, kata Yudin, sempat ada yang ingin menyelamatkan Yusuf. Tetapi, orang itu diancam polisi dengan pistol dan selanjutnya memilih lari menyelamatkan diri.
"Pada saat itu dia (yang ingin menyelamatkan Yusuf) lari. Lalu ditembak. Dia melompat lalu kemudian di depannya ada yang jatuh. Ternyata Randi," ujar dia.
Randi yang tewas di tempat kemudian diautopsi jenazahnya. Pihak kepolisian juga melakukan uji balistik untuk menelusuri peluru yang membuat Randi tewas seketika. Di sinilah, kata Yudin, muncul kejanggalan.
Menurut dia, proyektil peluru yang diuji balistik bukanlah peluru yang menembus jantung Randi. Yudin mengaku mendapat informasi proyektil yang diuji balistik oleh polisi merupakan peluru yang mengenai korban lain, yaitu Putri, ibu rumah tangga yang tertembak di bagian kaki saat tengah tertidur.
Fakta demikian didapat Yudin berdasarkan hasil autopsi jenazah Randi oleh pihak rumah sakit, yang menyatakan tidak ditemukan adanya peluru di tubuh Randi. Karena itu, Yudin meminta kejangganlan tersebut agar dibuka oleh polisi.
“Karena informasi yang kami dapatkan, pada saat outopsi tidak ditemukan proyektil peluru. Kejanggalan-kejanggalan itulah kami anggap hari ini harus dibuka pihak kepolisian sebagai pihak yang bertanggung jawab,” ujar Yudin.
Belum selesai sampai di situ, Yudin mengatakan ada kejanggalan lain yang terungkap dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Bahwa ada perbedaan keterangan saksi dalam BAP pertama dan BAP kedua.
Pada BAP pertama, saksi mengatakan melihat ada anggota polisi yang mengarahkan senjata. Akan tetapi, dia tidak tahu sosok polisi tersebut. Namun, dalam BAP kedua, saksi menyebut dipaksa untuk menunjuk salah satu orang yang ternyata untuk ditetapkan sebagai tersangka.
“BAP kedua, dia (saksi) mengatakan, dia dipaksa untuk mengarah dan menunjuk salah satu orang, yaitu bernama Abdul Malik (AM) yang kini jadi tersangka. Itu mungkin fakta-fakta yang tidak diketahui publik hari ini. Itu untuk kasus Randi,” ujar dia.
Sementara kasus kematian Yusuf, sampai hari ini Yudin belum mengetahui prosesnya apakah masih tahap penyelidikan atau sudah penyidikan. Namun, dia menekankan agar fakta-fakta yang belum diketahui ke publik harus segera diungkap.
Atas kejanggalan itu, Yudin meminta kepada Presiden Joko Widodo membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF). Ia juga meminta Kapolri Jenderal Pol Idham Azis untuk membebastugaskan bekas Kapolda Sultra, bekas Kapolres Kendari, dan bekas Dirkrimum Polda Sultra untuk diperiksa atas dugaan keterlibatannya terkait struktur jalur komando pada peristiwa penembakan Randi dan Yusuf.
Sementara itu, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyani, membenarkan ada saksi yang ditekan dalam kasus unjuk rasa di Kendari yang menimbulkan korban jiwa. Namun demikian, Yati mengaku tidak bisa membeberkan secara rinci temuan KontraS. Ini dilakukan pihaknya demi melindungi saksi.
"Penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM dipastikan sebisa mungkin dapat mengumpulkan semua keterangan-keterangan yang komprehensif. Yang jelas dari para saksi-saksi dan Komnas HAM juga harus memiliki strategi, bagaimana agar saksi-saksi ini bisa berbicara dan mereka tetap pada perlindungan dan merasa aman untuk menyampaikan informasi," kata Yati.