close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pembelajaran daring. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi pembelajaran daring. Foto Pixabay.
Nasional
Kamis, 09 September 2021 11:42

Guru Besar UII: Tidak ada standar pelaksanaan pendidikan jarak jauh

Sistem belajar online yang kini tengah dihadapi tidak memiliki panduan yang memadai dari Kemendikbud.
swipe

Guru Besar Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid mengatakan, pada era Covid-19, semua sektor kehidupan menjadi terganggu, salah satunya adalah pendidikan.

Keadaan seperti ini memaksa pelajar dan pengajar melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ala kadarnya. Situasi ini perlahan menyebabkan penurunan kualitas pendidikan.

“Belajar mengajar tidak hanya berubah, tetapi juga terganggu karena metode belajar jarak jauh berubah dan tidak ada standar yang memadai,” kata Edy dalam keterangan tertulisnya, Kamis (9/9).

Meskipun terjadi peningkatan nilai ujian pada mahasiswa, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai indikator peningkatan kualitas belajar mengajar. Apalasi sistem belajar online yang kini tengah dihadapi tidak memiliki panduan yang memadai dari Kemendikbud. Bahkan Kemendikbud juga tak kunjung turun tangan secara sigap menghadapi keadaan ini.

Padahal sebelum pandemi Covid-19 terjadi, telah dibuat gagasan untuk dilakukannya PJJ beserta pembuatan Peraturan Menteri (permen) terkait. Terdapat tiga opsi dalam gagasan permen tersebut, yakni berbasis mata kuliah, program studi, atau berbasis universitas. Saat itu juga telah dilakukan pelatihan-pelatihan namun tetap dianggap sulit.

Makanya menurut Edy, peran serta kontrobusi pemerintah dalam kegiatan PJJ sangatlah penting.

“Berikan sosialisasi sehingga semua perguruan tinggi dapat menerapkan kegiatan belajar jarak jauh dengan lebih baik karena telah sesuai dengan standar yang benar sehingga kualitas belajar tetap dapat ditingkatkan,” katanya.

Sementara Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini berharap, pemerintah harus bertindak dan turun langsung terutama kepada sekolah dasar maupun menengah untuk memberikan sosialisasi, sehingga tidak terjadi lost generation. Sebab siswa pendidikan dasar dan menengah berbeda kesiapannya dengan perguruan tinggi, di mana mahasiswa cenderung bisa menyelesaikan atau mencari solusi sendiri. Mungkin itu sebabnya sebuah hasil survei menyebutkan, 60-70% dosen ingin tetap melanjutkan PJJ. Sedangkan 50% mahasiswa ingin melakukan pembelajaran tatap muka.

Ia juga menekankan perlunya gerak cepat dari pemerintah untuk mengatasi keadaan kritis ini.

“Untuk siswa sekolah dasar, mereka tidak bisa bertahan lama di depan layar komputer. Hanya sekitar 5-10 menit, maka dibutuhkan pendekatan khusus untuk mengatasi dan membuat PJJ ini menjadi efektif,” imbuhnya. 

Sementara Ketua Prodi Islam Madani Universitas Paramadina Subhi Ibrahim menyatakan, ketidaksiapan menghadapi pandemi menjadi sebuah kritik bukan hanya kepada dunia pendidikan, tetapi juga terhadap budaya di masyarakat.

Subhi mengungkapkan penelitian Munif Latief yang menyatakan bahwa guru-guru di sekolah dasar dan menengah yang siap untuk melaksanakan PJJ hanya 8%-10% dan yang lainnya hanya pasrah. Pemerintah atau Kemendikbud mustinya turun tangan mengatasi gagap keadaan ini. Jika terus berlangsung seperti ini, maka pendidikan akan jauh terus mengalami kemerosotan.

“Dalam konsep PJJ dapat dikatakan semua orang tidak siap. Bukan hanya tenaga pengajar, tetapi juga para orang tua terutama pada pendidikan dasar. Karena adanya pengalihan kewajiban dari institusi sekolah kepada keluarga di rumah,” kata Subhi. Keadaan di daerah lebih parah lagi. Karena selain tidak siap, juga tidak memiliki infrastruktur  yang cukup.

img
Risma Perdana Izzati
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan