Pelecehan seksual yang dilakukan oknum perawat National Hospital Surabaya kepada pasien, memicu reaksi publik. Guna mencegah insiden itu terulang, Komisi IX DPR berencana memanggil Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), organisasi rumah sakit, pengawas rumah Sakit, organisasi perawat, dan Pendidikan Tinggi (Dikti) dalam rapat dengar pendapat (RDP).
“Kasus ini kan ketahuan, karena dia (korban) melapor, kalau yang tidak melapor bagaimana? Komisi IX DPR menekankan pada regulasinya. Regulasinya harus dibuat dan dilaksanakan. Harus ada komitmen terhadap masyarakat dan negara lewat regulasi itu penting, agar ada efek jera,” ujar anggota Komisi IX, Irma Suryani dalam forum diskusi bertajuk ‘Hospital tapa Hospitality’ di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (27/1).
Irma mamaparkan, ada tiga faktor yang membuat kejadian W ini bisa terjadi. Pertama karena badan pengawas rumah sakit yang tidak bekerja. Kedua, kualitas perawat buruk lantaran Dikti secara gampang memberikan izin untuk sekolah-sekolah perawat. Terakhir, IDI terlalu menutup rapat persoalan-persoalan kesalahan di dunia medis.
“Kementerian Kesehaatan melalui Badan Pengawas Rumah Sakit tidak jalan. Itu pernah saya tanyakan ketika RDP. Gimana kinerja Badan Pengawas RS, apa saja yang sudah dilakukan? Tolong saya diberi laporannya. Tidak bisa mereka memberikan laporan, karena memang tidak ada yang dilakukan,” sambungnya.
Sedangkan di Indonesia, saat ini dianggap kelebihan tenaga perawat. Politikus Partai Nasdem itu menyebut, banyak perawat yang akhirnya bekerja sukarela karena tidak adanya ketersedian lapangan pekerjaan untuk mereka.
“Di RS daerah, tenaga sukarela itu banyak sekali, lebih besar dari pekerja organiknya (yang digaji). Salah satu RUSD di Sumatera Utara punya 60 perawat organik, pekerja sukarelanya lebih dari itu dan gajinya tidak lebih dari Rp500 ribu,” tandasnya.