Indonesia, Filipina dan Jepang telah berkumpul di Pelabuhan Makassar untuk mempersiapkan penyelenggaraan Latihan Bersama Penanggulangan Tumpahan Minyak di Laut secara regional atau yang dikenal sebagai Regional Marpolex. Ketiga negara itu masing-masing diwakili Kementerian Perhubungan Cq. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut untuk Indonesia, Filipina diwakili oleh Phillippine Coast Guard (PCG) dan Jepang diwakili oleh Japan Coast Guard (JGC).
Direktur Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, Capt. Weku Karuntu mengatakan, hal ini sebagai tindak lanjut serta implementasi dari perjanjian Sulawesi Sea Oil Spill Response Network Plan Tahun 1981 yang dibuat dengan tujuan untuk menguji sekaligus mengevaluasi kemampuan Indonesia dan Filipina dalam menanggulangi musibah tumpahan minyak, khususnya di wilayah perairan kedua negara itu.
Kemudian, pada 1995 pemerintah Jepang melalui Japan Coast Guard (JCG) mulai bergabung. Sejak itu, Marpolex menjadi komitmen pemerintah Indonesia, Filipina, serta Jepang dalam mengimplementasikan ASEAN Oil Spill Response Action Plan dan Sulawesi Sea Oil Spill Network Response Plan.
“Regional Marpolex yang diselenggarakan secara rutin setiap dua tahun sekali ini juga merupakan implementasi dari amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, serta Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut,” kata Weku dalam keterangannya, Senin (23/5).
Weku menyebut, berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 telah ditetapkan Menteri Perhubungan selaku Ketua Tim Nasional Penanggulangan Keadaan Darurat Tumpahan Minyak di Laut Tingkatan Tier 3. Selain itu, Perpres dimaksud juga membentuk Puskodalnas dan menunjuk Direktur Jenderal Perhubungan Laut selaku Kepala Puskodalnas sekaligus Koordinator Misi Tingkatan Tier 3.
“Ini juga sejalan dengan tugas yang diemban oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut selaku administrator maritim di International Maritime Organization (IMO) yang memiliki tugas salah satunya terkait dengan perlindungan lingkungan laut atau Marine Environmental Protection,” tutur Weku.
Pada prinsipnya, menurut Weku, kegiatan regional Marpolex diselenggarakan dengan tujuan untuk memastikan koordinasi dan kerja sama jika ada pencemaran lintas batas Negara. Tujuan lainnya yaitu untuk menguji dan mengevaluasi kemampuan penanggulangan pencemaran minyak dari masing-masing negara, khususnya kesiapsiagaan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran minyak berskala besar di wilayah perairan perbatasan tiga negara.
“Kegiatan ini adalah ajang latihan Bersama antara 3 (tiga) negara dalam merencanakan, memerintah, mengontrol, menyelenggarakan operasi terkoordinasi pemadaman kebakaran penyelamatan serta penanggulangan pencemaran minyak,” tuturnya.
Sampai dengan saat ini, Weku mengungkapkan, Regional Marpolex telah dilaksanakan sebanyak 22 kali dengan penyelenggaraan setiap dua tahun sekali. Penyelenggaraan Regional Marpolex yang pertama dilaksanakan pada tahun 1986 bertempat di Davao, Filipina. Sedangkan yang terakhir diselenggarakan pada 2019 juga bertempat di Davao, Filipina.
“Sesuai jadwal, selanjutnya Regional Marpolex seharusnya diselenggarakan di Indonesia pada tahun 2021. Namun demikian, Pandemi Covid-19 yang berdampak luar biasa menyebabkan pelaksanaan kegiatan ini harus ditunda menjadi tahun 2022, persisnya tanggal 24-27 Mei besok bertempat di Pelabuhan Makassar,” ujar Weku.
Menurut Weku, Regional Marpolex saat ini merupakan satu-satunya kegiatan latihan penanggulangan pencemaran minyak di Indonesia dengan skala internasional, yang diselenggarakan oleh pemerintah. Apalagi menjadi parameter acuan kemampuan serta kesiapsiagaan nasional dan regional penanggulangan pencemaran minyak di Indonesia dan wilayah sekitarnya.
Sebagai informasi, kasus tumpahan minyak di Indonesia kerap beberapa kali terjadi. Seperti tumpahan minuak dan gelembung gas menyebar di garis pantai laut utara Jawa sejak dua pekan lalu, yang merupakan akibat dari insiden di blok migas milik anak usaha PT Pertamina (Persero).
Insiden ini pun bukan yang pertama di Indonesia. Sebelum tumpahan minyak di Karawang, pernah juga terjadi tumpahan minyak di Montara dan Balikpapan.
Untuk di Montara, kejadian itu terjadi pada 2009 yang melibatkan Petrolium Authority of Thailand Exploration and Production Public Company Limited (PTTEP). Bocornya minyak mentah ke Laut Timor disebabkan meledak dan terbakarnya unit pengeboran West Atlas milik ladang minyak Montara. Kasus ini dikenal dengan Tumpahan Minyak Montara.
Kemudian, di 2018, tumpahan minyak terjadi lagi di Teluk Balikpapan. Kali ini, kebocoran disebabkan hantaman jangkar yang mematahkan pipa minyak.
Kala itu, ada minyak jenis bahan bakar kapal (fuel oil) tumpah di perairan Teluk Balikpapan, tidak jauh dari Refinery Unit V Balikpapan milik PT Pertamina (Persero).