Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan pemeriksaan kepada tiga saksi tersangka kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN Sjamsul Nursalim.
Tiga orang saksi itu ialah, eks Menteri Koordinator Bidang Perekonomian era Megawati Soekarnoputri, yang saat itu bernama Kementerian Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Kemenko Ekuin), Dorodjatun Kuntjoro Jakti. Kemudian dua saksi lainnya dari unsur swasta yakni, Jusak kazan dan Stephanus Eka Dasawarsa Sutantio.
Dari Dorodjatun, tim penyidik KPK mendalami peran Guru Besar Emiritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi dan juga sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
"Termasuk surat-surat keputusan yang diterbitkan KKSK saat saksi menjabat," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (4/7).
Dorodjatun merupakan mantan Ketua KKSK yang mengeluarkan keputusan KKSK pada 13 Februari 2004, dengan menetapkan utang petambak setinggi-tingginya Rp100 juta, dan porsi unstainable debt PT Dipasena Citra Darmadja (DCD), dan PT Wachyuni Mandira (WM) yang ditagihkan kepada Sjamsul Nursalim tidak perlu dibayarkan.
Sementara dari Jusak Kazan, tim penyidik KPK mendalami peran dari Divisi Risk Managemen Credit Review dan Load Wprk Out (LWO) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Sedangkan untuk saksi Stephanus Eka Dasawarsa Susanto, KPK mendalami keterangannya terkait peran Aset Manajemen Investasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (AMI BPPN).
Komisi antirasuah memang sedang gencar menangani perkara megakorupsi tersebut. Pekan lalu, KPK sudah memanggil konglomerat suami-istri yang menjadi tersangka dalam perkara ini. Namun, keduanya mangkir dari panggilan tanpa ada alasan yang pasti.
Dalam perkara ini, Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim diduga telah melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, SJN dan ITN disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.