close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Dosen Ekonomi FEB UI Ninasapti Triaswati, bicara soal tenaga kerja asing (TKA) di Jakarta kemarin. (Robi/ Alinea)
icon caption
Dosen Ekonomi FEB UI Ninasapti Triaswati, bicara soal tenaga kerja asing (TKA) di Jakarta kemarin. (Robi/ Alinea)
Nasional
Sabtu, 28 April 2018 11:04

Tiga syarat bagi pemerintah untuk membuka keran TKA

Pemerintah perlu menguji dampak masuknya TKA ke Indonesia. Apakah menguntungkan atau justru mengkhawatirkan bagi tenaga kerja di Indonesia.
swipe

Fenomena maraknya tenaga kerja yang diimpor dari negara maju adalah isu yang biasa mewarnai momentum pergantian presiden. Sementara di negara asalnya, upaya itu ditempuh untuk menyelamatkan tenaga buruh yang terdesak karena krisis atau faktor lain.

Contohnya, saat General Motor di Amerika Serikat terancam kolaps, Barack Obama yang kala itu menjabat presiden bersikeras menasionalisasi perusahaan itu. "Penyelamatan karyawan perusahaan yang masih berkerja di perusahaan tersebut, digunakan sebagai dalih," ujar peneliti sekaligus Dosen Ekonomi Universitas Indonesia Ninasapti Triaswati, dalam diskusi ketenagakerjaan, "Darurat TKA, Fiktif atau Realitas?", Jumat (27/04).

Jika kemudian sejumlah negara maju memilih mengekspor tenaga terdidiknya ke negara ketiga, itu menjadi persoalan tersendiri. Istri mendiang mantan Wakil Menteri ESDM Widjajono Partowidagdo menegaskan, isu tersebut harus benar-benar dipastikan keberadaannya. 

Ia tak antipati jika pemerintah ingin membuka keran bagi tenaga kerja asing (TKA) yang akan menyesaki pasar dalam negeri. Namun, imbuhnya, pemerintah perlu mempertimbangkan tiga batasan. Pertama, TKA hanya boleh masuk untuk jenis pekerjaan yang tidak menyangkut nasional security. Kedua, tidak yang berkenaan dengan low skill labour. Ketiga, pekerjaan tersebut memang masih dibutuhkan, sedang di Indonesia tenaga kerja di bidang itu masih minim.

Selain mempertimbangkan ketiga hal itu, pemerintah perlu melakukan kajian ihwal dampak masuknya TKA ke Indonesia. Apakah menguntungkan atau justru mengkhawatirkan bagi tenaga kerja domestik itu sendiri.

Mudahnya, imbuh Nina, pemerintah bisa memasukkan TKA ke Indonesia asal jenis pekerjaannya memang menuntut jenjang pendidikan baik atau kategori high skill labour. Sebaliknya untuk tenaga dengan kategori low skill labour sebaiknya sangat dihindari, mengingat negeri ini  juga masih banyak tenaga yang belum terserap.

"Jadi, tidak serta merta membuka untuk semua pekerjaan. Bahkan, negara maju dimanapun tidak melakukan itu, termasuk Eropa dan Amerika," tegasnya. 

Berkaca pada negara-negara maju, jika kemudian ditemui TKA yang berprofesi sebagai buruh cuci piring atau pekerja kasar lain, menurutnya rerata itu ilegal. Sebab negara maju umumnya sangat tegas membatasi tenaga kerja untuk bidang-bidang tertentu.

Dari situlah seharusnya pemerintah berhati-hati dalam membuat aturan, termasuk harus mengklarifikasi kembali, jenis pekerjaan apa yang benar-benar dibutuhkan dan jangan meminggirkan tenaga kerja lokal. Sebaliknya TKA yang bekerja di high skill labour jika dipenuhi, bisa mendorong perbaikan di sejumlah lini.

Akurasi data dan regulasi kebijakan

Selain tegas mengatur batasan TKA yang masuk ke Indonesia, pemerintah perlu memperbarui akurasi data TKA yang bekerja di Indonesia.

"Hingga saat ini, data yang ada tidak jelas berapa jumlah TKA, bagaimana perkembangan per bulan," katanya. 

Jika pemerintah ngotot membuka keran, lanjutnya, maka kementerian terkait bisa memberdayakan dinas-dinas di bawahnya untuk melakukan verifikasi dan pemutakhiran data.

"Jangan seperti sekarang, di mana pendataan hanya dilakukan satu titik saja. Misalkan sebuah perusahaan yang membuka usaha, lalu didata (secara sporadis) TKA jumlahnya sekian. Akan tetapi, justru tak pernah dilakukan. Saya pikir minim sekali data tentang perkembangan TKA yang ada di kabupaten dan kota," kritiknya. 

Jika belakangan ada temuan TKA ilegal, pemerintah bisa berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk melakukan penindakan.

Singkatnya, untuk menuju pembukaan keran TKA pemerintah harus pastikan bisa merampungkan dua tantangan, yakni akurasi data dan penegakan hukum. Penting juga, secara spesifik membuat peraturan menteri (permen), yang bisa mengatur secara rigid keberadaan TKA.

img
Robi Ardianto
Reporter
img
Purnama Ayu Rizky
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan