close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/11). / Antara Foto
icon caption
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan menggelar aksi Kamisan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (7/11). / Antara Foto
Nasional
Sabtu, 07 Desember 2019 23:32

Tiga tantangan penegakan HAM pada 2020

Salah satu tantangan terbesar dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia pada 2020 adalah oligarki politik.
swipe

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid memprediksi ada tiga tantangan yang akan dihadapi terkait penegakan hak asasi manusia (HAM) pada 2020. Tantangan pertama adalah kuatnya oligarki di dalam sistem politik Indonesia.

Dalam hal ini, oligarki yang dimaksudnya adalah mereka yang memiliki kekayaan material luar biasa, menguasai partai politik dan kelembagaan pemerintah, serta media massa. Efeknya untuk HAM, dia mengatakan oligarkilah yang menikmati sumber daya alam (SDA) di Indonesia.

"Itu kita lihat dalam Undang-Undang sumber daya air, UU mineral dan batu bara. Kita (juga bisa) lihat dalam konsesi-konsesi tambang baru di Freeport atau di Papua pada umumnya, banyak tambang baru emas di sana, (dan) perkebunan sawit yang diekspansi," ujar Usman di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (7/12).

Tantangan kedua adalah lemahnya penegakan hukum. Menurutnya, apabila sistem tidak diperbaiki, maka tidak ada kontrol terhadap kekuasaan.

Sisi lain, dalam tantangan kedua, Usman mencontohkan kasus pembunuhan aktivis Munir Said Thalib atau penyerangan terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan tidak akan pernah selesai apabila penegakan hukum masih lemah.

"Sebenarnya manifestasi dari kebebasan berekspresi selama 20 tahun, itu akan mengalami tantangan yang besar," kata dia.

Berangkat dari itu, tantangan yang ketiga muncul, yaitu kekakuan ideologis. Menurut Usman, wajar apabila orang asli Papua ditangkap, dipukul, atau mendapatkan perlakuan rasisme, sebab ada ideologi yang membenarkan itu.

"Jadi tidak ada lagi yang disebut sebagai kemanusian yang adil dan beradab. Persatuan menjadi persatean, musyawarah itu tadi, mengabdi kepada keadilan oligarki," jelas dia.

img
Akbar Ridwan
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan