Tim advokasi Novel Baswedan menduga Irjen Rudy Haryanto telah menghilangkan barang bukti untuk menutupi fakta terkait kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Anggota tim advokasi Novel Baswedan Kurnia Ramadhana menilai, penghilangan barang bukti dilakukan Rudy ketika mengemban tugas sebagai penyidik yang menangani kasus penyiram air keras kliennya. Saat itu, Rudy diketahui menduduki posisi sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
"Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan. Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," ujar Kurnia, dalam keterangannya, Rabu (8/7).
Setidaknya, terdapat empat barang bukti krusial yang dianggap "dihilangkan" pada kasus yang menimpa penyidik senior pembaga antirasuah itu. Pertama, sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan hilang.
Kurnia meyakini lantaran Polda Metro Jaya pernah menyampaikan bahwa tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan pada 17 April 2019. Padahal, sudah banyak saksi dan korban mengakui gelas tersebut ditemukan kepolisian pada 11 April 2017 sekitar pukul 10.00 WIB dalam kondisi berdiri, tepat peristiwa penyiraman air keras berlangsung.
"Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol, terlebih lagi pada saat ditemukan gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," tuturnya.
Kedua, CCTV di sekitar kediaman korban tidak dijadikan barang bukti. Hal ini diyakini lantaran Polri tidak menyita rekaman CCTV yang krusial dalam menggambark rute pelaku. Koprs Bhayabgkara itu hanya menyita 400 rekaman CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.
"Namun, berdasarkan pengakuan korban dan saksi diketahui terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku akan tetapi tidak diambil oleh kepolisian. Bahkan, beberapa CCTV di sekitaran rumah korban diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian," ungkap Kurnia.
Ketiga, cell tower dumps (CTD) tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara. CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.
Kurnia menganggap, CTD tidak pernah ditampilkan dalam proses penanganan perkara oleh pihak kepolisian. Menurutnya, penampilan CTD penting, terlebih pada kasus kejahatan terorganisir seperti yang menimpa Novel.
"Dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular. Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban, baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya," katanya.
Keempat, minimnya penjelasan terkait sobekan baju gamis milik Novel. Menurutnya, sobekan tersebut janggal lantaran dalih kepolisian saat gamis ditampilkan dalam persidangan pada 30 April 2020 yakni, baju disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.
"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi. Dalam hal ini, korban tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait dengan sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya," papar dia.
Kendati mendapat fakta janggal terkait barang bukti vital yang dianggap dihilangkan oleh kepolisian, Irjen Rudy dinilai telah melanggar ketentuan yang tertera dalam Perkapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Tim Advokasi Novel Baswedan telah melaporkan Irjen Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri atas dugaan pelanggaran kode etik profesi," tutup Kurnia.