Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai keberadaan Tim Asistensi Hukum bentukan Menko Polhukam Wiranto berbahaya bagi demokrasi. Menurut Asfi, sapaan akrab Asfinawati, tim tersebut bakal mengancam kebebasan berekspresi.
"Seolah tim ini menjadi kanal yang akan mengevaluasi omongan kita semua, terus mereka merekomendasikan pada polisi. Saya bayangkan jika kepolisian mendapat rekomendasi dari tim ini, masa mau tolak. Ini tricky jadinya," kata Asfi di Gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Selasa (14/5).
Asfi menilai, kewenangan dan fungsi dari tim bentukan Wiranto itu tumpang tindih dengan penyelenggara negara yang lain. Pasalnya, sistem hukum Indonesia sudah memiliki aturan jelas untuk dapat menjerat ucapan yang bernuansa rasialis atau pun ujaran kebencian.
"Batasnya adalah ada orang yang menganjurkan kekerasan berdasarkan agama, ras berbeda misalnya, baru di situ negara harus turun tangan," ujar dia.
Tim Asistensi Hukum dibentuk berdasarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 38 Tahun 2019 tentang Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam. Surat itu diteken Wiranto pada 8 Mei 2019.
Setidaknya ada tiga tugas utama tim tersebut. Pertama, melakukan kajian dan asistensi hukum menyoal ucapan dan tindakan yang melanggar hukum setelah Pemilu 2019.
Kedua, menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas tim kepada Menko Polhukam selaku ketua pengarah. Ketiga, memberikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum guna menindaklanjuti kajian hukum sesuai kewenangan.
Asfi menilai, keberadaan tim tersebut potensial memunculkan penyalahgunaan wewenang oleh negara. Negara, lanjut Asfi, seolah anti terhadap kritik.
"Jadi adanya suatu Tim Asistensi Hukum itu memberi makna adanya suatu pengawasan terus menerus dan berpotensi digunakan untuk kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa," ujar Asfinawati.
Anggota Tim Asistensi Hukum Romli Atmasasmita meminta publik tak berlebihan merespons keberadaan tim tersebut. Pasalnya, Tim Asistensi Hukum sifatnya ad hoc dan bakal dibubarkan pada 31 Oktober mendatang. (Ant)