Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan DPR dianggap melanggar janji mengusut kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Pangkalnya, membiarkan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, mengangkat Yulius Selvanus dan Dadang Hendrayudha yang pernah terseret kasus Tim Mawar sebagai pimpinan tinggi madya di Kementerian Pertahanan (Kemhan).
"Presiden baru saja menyerahkan kendali kekuatan pertahanan negara kepada seseorang yang terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk penghilangan paksa oleh Komisi Hak Asasi Manusia Indonesia sendiri dan sekarang orang tersebut melanjutkannya dengan mengangkat orang-orang terimplikasi hukum atas kasus penculikan yang pernah diadili di Mahkamah Militer," ucap Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dalam keterangan tertulis, Jumat (25/9).
Prabowo memberhentikan sekaligus mengangkat enam pimpinan tinggi madya di Kemhan. Pejabat yang diberhentikan, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 166/TPA Tahun 2020, yakni Dirjen Perencanaan Pertahanan (Renhan), Marsda TNI Dody Trisunu; Dirjen Potensi Pertahanan (Pothan), Bondan Tiara Sofyan; Kepala Badan Sarana Pertahanan (Baranahan), Mayjen TNI Budi Prijono; Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Anne Kusmayati; Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat), Laksda TNI Benny Rijanto Rudy; serta Kepala Badan Instalasi Strategis Pertahanan (Bainstranas), Mayjen TNI (Mar) Joko Supriyanto.
Adapun yang diangkat, yaitu Mayjen TNI Budi Prijono sebagai Dirjen Renhan; Brigjen TNI Dadang Hendrayudha selaku Dirjen Pothan; Marsma TNI Jusuf Jauhari sebagai Kepala Baranahan; Marsda TNI Julexi Tambayong selaku Kepala Balitbang; Mayjen TNI (Mar) Joko Supriyanto sebagai Kepala Balitbang; serta Brigjen Yulius Selvanus selaku Kepala Bainstranas.
Menurut Usman, langkah itu mengirimkan sinyal mengkhawatirkan karena para pejabat telah melupakan "hari-hari tergelap" era Soeharto. Kala Prabowo memimpin pasukan khusus, para aktivis menghilang beriringan dengan banyaknya tuduhan penyiksaan dan penganiayaan.
Semestinya, bagi dia, kasus-kasus pelanggaran HAM diselidiki secara menyeluruh sesuai keadilan hukum. Kemudian, dijelaskan nasib dan keberadaan korban yang hilang serta memberikan ganti ruginya.
"Alih-alih menempatkan mereka yang diduga bertanggung jawab pidana ke pengadilan, pemerintah semakin membuka pintu bagi orang-orang yang terimplikasi pelanggaran HAM masa lalu dalam posisi kekuasaan," kritiknya.
Usman pun menyebut, langkah ini bukan sekadar pragmatisme politik kekuasaan, tetapi penghinaan terhadap HAM yang ditetapkan pada era reformasi. Sebab, mereka yang terlibat pelanggaran HAM malah diberikan posisi komando di ranah militer hingga jabatan strategis dan struktural di pemerintahan.