close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Rapat MKMK dipimpin Jimly Asshiddiqie berlangsung secara hybrid di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung 2 MK dan secara zoom, Kamis (26/10/2023). Foto Humas/Fauzan/MK
icon caption
Rapat MKMK dipimpin Jimly Asshiddiqie berlangsung secara hybrid di Ruang Sidang Panel, Lantai 4, Gedung 2 MK dan secara zoom, Kamis (26/10/2023). Foto Humas/Fauzan/MK
Nasional
Kamis, 02 November 2023 21:11

Tinggal berharap agar MKMK mengedepankan moralitas dalam putusannya

Jika aspek moral yang menjadi pertimbangan, MKMK bisa saja keluar dari pakem hukum tata negara positif.
swipe

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sedang dalam proses memeriksa dugaan pelanggaran kode etik para hakim Mahkamah Konstitusi (MK) soal keputusan uji materi perkara 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres dan cawapres.

Beberapa Hakim Konstitusi termasuk Ketua MK Anwar Usman telah diperiksa. Pada hari ini (2/11) pun, MKMK memeriksa Wakil Ketua MK Guntur Hamzah. MKMK telah menjadwalkan kalau putusannya dilakukan pada 7 November. 

Ada sepuluh persoalan terkait MK yang ditangani MKMK. Pertama, hakim konstitusi tak mengundurkan diri padahal punya kepentingan hubungan keluarga. Kedua, hakim konstitusi berbicara substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Ketiga, hakim MK mengungkapkan disentting opinion terkait substansi materi perkara yang sedang diperiksa. Keempat, hakim konstitusi dianggap melanggar kode etik karena membicarakan persoalan internal ke pihak luar. Kelima, hakim konstitusi dinilai melanggar prosedur registrasi. Keenam lambatnya pembentukan MKMK. Ketujuh, mekanisme pengambilan keputusan yang dinilai kacau. Kedelapan, dianggap dijadikan alat politik praktis. Kesembilan, terdapat permasalahan internal yang diketahui pihak luar. Kesepuluh, hakim konstitusi diduga melakukan kebohonhan terkait ketidakhadiran dalam RPH perkara Nomor 29-51-55.

Sidang etik pun itu dianggap berpotensi membatalkan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai bakal calon wapres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM).

Jika MKMK memutuskan terjadi pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim konstitusi. Sebagian kalangan diyakini bakal mengaitkan hal itu dengan Pasal 17 ayat (5) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di mana, hakim atau panitera wajib mengundurkan diri ketika punya kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Kemudian pada ayat (6) menyebutkan, dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan ayat (7) mengatakan, perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.

Lantas apa benar Pasal 17 UU Nomor 48 Tahun 2009 itu bisa menjadi akses mulus membatalkan perkara 90/PUU-XXI/2023 soal syarat usia capres dan cawapres?

Pengamat hukum tata negara dari FH UPN Veteran Jakarta Wicipto Setiadi mengatakan, ada baiknya semua pihak cermat membaca undang-undang tersebut. Yakni, dengan juga membaca Pasal 1 yang menjelaskan pengertian subjek dimaksud dari UU Kekuasaan Kehakiman.

Pada Pasal 1 ayat (5) menyebutkan, kalau hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Sedangkan hakim konstitusi terdapat di pasal yang sama, tetapi di ayat (7) yang menyebutkan, kalau hakim konstitusi adalah hakim pada Mahkamah Konstitusi.

"Pada Pasal 17 hanya menyebutkan frasa hakim atau panitera. Bukan hakim konstitusi," jelas dia, saat dihubungi Alinea.id, Rabu (2/11).

Hal itu kemungkinan karena adanya sifat dalam putusan MK, yakni final and binding. Sifat putusan MK adalah langsung dapat dilaksanakan. Sebab, proses peradilan MK merupakan yang pertama dan terakhir.

Adapun soal proses yang sedang berlangsung di MKMK, dari sisi kewenangannya, MKMK hanya memeriksa dan memutus terkait dengan etika hakim konstitusi. 

"Katakanlah Ketua MK melanggar etik. Pasti yang akan dijatuhkan hukuman adalah orangnya. Apakah itu diberikan sanksi administrasi atau bahkan pemberhentian," ucap dia.

Sayangnya tidak ada aturan soal ketika hakim konstitusi diberhentikan karena melanggar etika, apakah keputusannya juga batal. Termasuk mekanisme proses mengubah atau membatalkan putusan yang telah dibuat MK.

Namun begitu, dia tetap berharap agar MKMK mengedepankan moralitas dalam pengambilan keputusan. Sebab putusan perkara 90/PUU-XXI/2023 cenderung syarat kepentingan. Sehingga menjadi perbincangan publik yang tentunya mencemarkan nama MK.

Sementara, Dekan FH Unsoed M Fauzan menyebut, MKMK memang hanya memeriksa dan memutus terkait dengan pelanggaran kode etik, dan perlu diketahui bahwa tupoksi MKMK adalah menjaga keluhuran dan martabat hakim MK.

Tetapi, jika putusan MKMK ternyata memutuskan para hakim terbukti dengan sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran kode etik, maka dalam perspektif moral, putusan yang telah diambil tidak memiliki legitimasi secara moral, karena diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik. 

Atas putusan yang telah diambil, maka ada beberapa kemungkinan. Pertama, putusan itu tetap berlaku sesuai dengan hukum tata negara positif (yang sedang berlaku). Kedua, di atas hukum sebenarnya ada moralitas, maka hukum yang baik tentunya harus memperhatikan aspek moralitas. 

"Jika aspek moral yang menjadi pertimbangan, MKMK bisa saja keluar dari pakem hukum tata negara positif, dan menyatakan bahwa putusan yang diputus oleh hakim yang telah terbukti melanggar kode etik putusannya tidak mengikat. Jika ini yang terjadi, maka akan ada dinamika hukum ketatanegaraan kita, dan pasti ini menimbulkan diskursus juga," kata dia. 

Itulah sebabnya, dia mengusulkan perlu ada kajian kembali mengenai keputusan MK yang final dan mengikat. Ke depan jika ternyata putusan MK dijatuhkan oleh hakim yang terbukti melanggar kode etik, maka kekuatan putusan MK yang bersifat final dan mengikat dapat dibatalkan, dan pembatalannya ada dua cara, pertama oleh MK sendiri atas perintah MKMK atau oleh MKMK yang memeriksa dan memutus laporan adanya pelanggaran kode etik.

img
Hermansah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan