Sekitar puluhan guru dari tingkatan SD, SMP, hingga SMA yang mengajar di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua, dilaporkan mengungsi bersama para siswanya ke Kabupaten Jayawijaya. Mereka terpaksa mengungsi usai terjadinya kontak tembak antara TNI dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Berdasarkan informasi terakhir yang diterima dari salah seorang guru yang tak mau menyebutkan namanya di Nduga, Jayawijaya, jumlah guru yang mengungsi sekitar 80 orang. Namun demikian, ia belum bisa memberikan pernyataan terkait situasi yang dihadapinya saat ini karena masih menunggu pernyataan pejabat Dinas Pendidikan Nduga.
“Kami belum bisa berikan pernyataan, nanti kepala dinas saja yang kasih komentar,” kata guru tersebut di Papua pada Rabu, (13/2).
Koordinator Tim Relawan Pengungsian Nduga, Ence Geong, mengatakan staf Dinas Pendidikan Kabupaten Nduga masih mendata keseluruhan guru yang mengungsi. Menurut catatannya, jumlah guru yang terdata oleh dinas pendidikan setempat saat ini berjumlah 120 orang
“Dari jumlah tersebut, mereka nantinya akan tersebar di 12 kelas. Namun masih akan diatur lagi per kelasnya," katanya.
Menurut Ence, guru-guru yang mengungsi ini sebelumnya mengajar di 10 sekolah dasar, lima Sekolah Menengah Pertama, dan dua Sekolah Menengah Atas di Kabupaten Nduga. Pada lokasi pembangunan 12 ruang sekolah darurat untuk anak-anak pengungsi Nduga di Jayawijaya, sejumlah guru yang bukan penduduk lokal Nduga selalu hadir untuk mengajar para siswa setempat.
Sekolahdarurat sudah mulai berjalan pada 11 Februari 2019. Jumlah siswa pengungsi yang terdata hingga saat ini adalah 406 orang. Para siswa itu merasa trauma dengan aktivitas baku tembak serta bunyi tembakan, sehingga lari meninggalkan kampung halaman mereka tanpa membawa peralatan sekolah seperti buku dan pensil.
“Tapi kami bersyukur guru-guru menyumbang, sehingga setiap anak mendapat satu buku dan satu alat tulis,” ujar Ence.
Sementara itu, berdasarkan catatan Kapolda Papua, Irjen Pol Martuani Sormin Siregar, ada 15 kabupaten dari 28 dan satu kota di Bumi Cenderawasih yang rawan konflik bersenjata. Belasan kabupaten tersebut beberapa di antaranya Kabupaten Puncak, Puncak Jaya, Mimika, Intan Jaya, Nduga dan Jayawijaya.
Dari 15 kabupaten tersebut, salah satunya di antaranya belum mempunyai Polres, seperti di Kabupaten Nduga, hanya ada pos polisi dan baru belakangan ini ditingkatkan menjadi Polsek dengan kekuatan 15 personel.
“Kami mengalami penolakan di Nduga karena trauma operasi Mapenduma pada 1996 lalu. Harapannya hal ini bisa didengar oleh Pak Gubernur Papua dan jajarannya agar bisa membantu untuk penyediaan infrastrukturnya,” ujar Martuani.
Selain itu, kata Martuani, ada kabupaten yang hingga kini jalannya roda pemerintahan dilakukan di luar daerah karena masih ada persoalan internal di lingkungannya.
"Itu adalah Kabupaten Intan Jaya, ibu kota Sugapa tapi jalannya pemerintahan di Nabire," kata Martuani. (Ant)