Usai adanya serangan yang dilakukan oleh kelompok teroris di Gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan pada Minggu (28/3) dan Mabes Polri Jakarta pada Rabu (31/3), TNI meningkatkan pengamanan di tempat keramaian, objek vital nasional, termasuk tempat ibadah.
"Saya telah memerintahkan seluruh jajaran TNI untuk meningkatkan pengamanan, termasuk gereja hingga objek vital nasional. Peningkatan keamanan dilakukan dengan patroli bersama dan mendirikan Posko Komando Taktis," kata Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto dalam keterangan tertulisnya.
Panglima TNI menjelaskan, peningkatan eskalasi pengamanan khususnya di gereja, tempat keramaian dan objek vital nasional oleh TNI-Polri sudah mulai dilaksanakan hari ini (2/4). Di mana dalam meningkatkan pengamanan tersebut, TNI bersama Polri telah membentuk Patroli Bersama dengan mendirikan Posko Komando Taktis di beberapa titik terpilih.
Selanjutnya Panglima TNI menyampaikan, peningkatan pengamanan tersebut merespons perintah dari Presiden RI Joko Widodo beberapa waktu lalu, yang menegaskan tidak ada tempat bagi teroris di Indonesia.
"Presiden Joko Widodo memberi perintah kepada saya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Kepala BIN Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan, untuk meningkatkan kewaspadaan serta memberi keyakinan dan rasa aman kepada masyarakat dalam melaksanakan aktivitas," tutup Panglima TNI.
Sementara Ketua SETARA Institute Hendardi mengatakan, peristiwa teror di Makassar dan di Jakarta menunjukkan bahwa kelompok pengusung ideologi teror masih eksis di Indonesia. Jaringan Jamaah Ansharu Daulah (JAD) adalah salah satu jejaring yang paling menonjol mengadopsi strategi lone wolf dalam menjalankan tindakan teror.
"JAD eksis karena didukung oleh pesatnya perkembangan teknologi informasi. Yang juga dimanfaatkan secara efektif untuk melakukan proses radikalisasi di ruang publik. Dengan menyasar kelompok-kelompok spesifik yang memiliki potensi transformasi secara cepat dari orang biasa-biasa saja, lalu menjadi sangat intoleran dan radikal kemudian tergerak melakukan aksi kekerasan," papar Hendardi, dalam keterangan tertulisnya.
Eksistensi kelompok teroris ini dimungkinkan karena mengendurnya kepekaan masyarakat dan delegitimasi oleh pihak-pihak tertentu atas tindakan polisional yang dilakukan oleh institusi-institusi keamanan dalam menangani terorisme. Masyarakat menjadi permisif karena persepsi yang berkembang bahwa terorisme adalah rekayasa pihak-pihak yang memiliki kemampuan intelijen kelas tinggi. Padahal, dua aksi terakhir misalnya, menunjukkan betapa jejaring itu nyata dan keberadaan mereka membahayakan jiwa manusia.
Penyesatan opini-opini semacam ini di satu sisi dan kampanye distortif atas kinerja pemberantasan terorisme, semakin memperluas ruang radikalisasi publik dan memperkuat sikap permisif warga. Ruang-ruang publik intoleran yang dibela dan dibiarkan adalah enabling environment atau kondisi-kondisi yang membuat dan mempercepat pertumbuhan recovery kelompok teror.
"Terorisme adalah musuh semesta warga negara dan oleh karenanya perlu terus memperkuat dukungan bagi institus-institusi negara melakukan penindakan dan penegakan hukum yang terukur dan akuntabel. Akuntabilitas kinerja pemberantasan terorisme akan memperkuat kepercayaan publik dan memperkuat ketahanan sosial warga negara, temasuk memperkuat imunitas dari virus intoleransi, radikalisme dan terorisme," terang dia.