Pendiri Kompas Gramedia sekaligus Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama tutup usia pada Rabu, 9 September 2020. Jurnalis senior dan tokoh pers nasional itu wafat di rumah sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara.
"Almarhum meninggal dunia dengan tenang di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading pada pukul 13:05 WIB dalam usia 88 tahun," kata kata Corporate Communication Director Kompas Gramedia, Rusdi Amral, di Jakarta, Rabu (9/9).
Jakob Oetama lahir 27 September 1931 di Desa Jowahan, Borobudur, Jawa Tengah. Ia sempat mengajar di SMP Mardi Yuwana Cipanas, Sekolah Guru Bagian B (SGB) Lenteng Agung Jagakarsa, dan SMP Van Lith Jakarta. Minatnya menulis tumbuh berkat belajar ilmu sejarah.
Jakob kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Jurusan Ilmu Komunikasi Massa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga tahun 1961, dan menerima gelar kehormatan Doktor Honoris Causa dari UGM pada 2003.
Di dunia jurnalistik, Jacob memulai karirnya sebagai redaktur majalah Penabur Jakarta. Pada 1963, bersama rekan terbaiknya, almarhum Petrus Kanisius Ojong (P.K. Ojong), Jakob Oetama menerbitkan majalah Intisari yang menjadi cikal-bakal Kompas Gramedia.
“Jakob Oetama adalah legenda, jurnalis sejati yang tidak hanya meninggalkan nama baik, tetapi juga kebanggaan serta nilai-nilai kehidupan bagi Kompas Gramedia. Beliau sekaligus teladan dalam profesi wartawan yang turut mengukir sejarah jurnalistik bangsa Indonesia. Walaupun kini beliau telah tiada, nilai dan idealismenya akan tetap hidup dan abadi selamanya,” tutur Rusdi.
Rusdi menambahkan, kepekaan Jakob pada masalah manusia dan kemanusiaanlah yang kemudian menjadi spiritualitas Harian Kompas yang terbit pertama kali pada 1965. Hingga lebih dari setengah abad kemudian Kompas Gramedia berkembang menjadi bisnis multi-industri, Jakob Oetama tidak pernah melepas identitas dirinya sebagai seorang wartawan.
Semasa hidup, JO, begitu Jakob Oetama disapa, dikenal sebagai sosok sederhana yang selalu mengutamakan kejujuran, integritas, rasa syukur, dan humanisme. Di mata karyawan, ia dipandang sebagai pimpinan yang ‘nguwongke’ dan tidak pernah menonjolkan status atau kedudukannya.
"Almarhum berpegang teguh pada nilai humanisme transendental yang ditanamkannya sebagai fondasi Kompas Gramedia. Idealisme dan falsafah hidupnya telah diterapkan dalam setiap sayap bisnis Kompas Gramedia yang mengarah pada satu tujuan utama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia," ucap Rusdi.