Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur menjatuhkan vonis empat tahun penjara terhadap Muhammad Rizieq Shihab (MRS) dalam sidang putusan kasus swab test Rumah Sakit UMMI pada Kamis (24/6). MRS dinilai terbukti menyebarkan kabar bohong dan sengaja menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat.
Merujuk ketentuan Pasal 196 KUHAP, MRS memiliki hak untuk menerima atau menolak putusan dengan mengajukan banding. Dia juga memiliki hak memikirkan selama 7 hari untuk menentukan sikap apakah mengajukan banding atau tidak. Terakhir, MRS berhak juga mengajukan permohonan pengampunan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau grasi.
"Terhadap 3 opsi tadi, hak saudara, apakah saudara akan berkonsultasi dengan tim penasihat hukum atau akan langsung menjawab?" tanya Ketua majelis hakim Khadwanto di PN Jakarta Timur, Kamis (24/6).
MRS menolak putusan hakim vonis 4 tahun penjara. Ia pun langsung menyatakan ingin mengajukan banding (upaya hukum bagi terpidana atau jaksa penuntut umum (JPU) untuk meminta pada PN lebih tinggi agar memeriksa ulang atas putusan PN sebelumnya).
"Setelah saya mendengar putusan yang dibacakan hakim ada beberapa hal yang tidak bisa saya terima, di antaranya adalah jaksa mengajukan saksi ahli forensik, padahal di persidangan ini saksi ahli forensik tidak pernah ada," ucapnya.
Putusan majelis hakim PN Jakarta Timur merujuk 26 butir bukti perkara. Dari flashdisk merk SanDisk merah hitam berisi foto dan rekaman video ketika tim Satgas Covid-19 Bogor datang ke RS UMMI pada 27 November 2020, hingga lembar surat pernyataan asli HRS bertuliskan 'dengan ini saya tidak mengizinkan siapapun untuk membuka informasi mengenai hasil pemeriksaan medis saya dan hasil swab'.
Bahkan, lembar surat pernyataan asli MRS tersebut ditandatangani di atas materai 6.000 dengan dua orang saksinya. Selain itu, putusan majelis hakim PN Jakarta Timur juga membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp5.000.
Dakwaan JPU terhadap MRS bersifat subsidaritas. Sehingga, majelis hakim memilih langsung dakwaan yang sesuai fakta persidangan. Yaitu, dakwaan alternatif pertama primer dengan ancaman pidana Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP yang semestinya tuntutannya enam tahun penjara.