close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kerukunan umat beragama di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi kerukunan umat beragama di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin/Oky Diaz
Nasional
Minggu, 27 Desember 2020 14:21

Kerukunan di bumi Sunda Wiwitan: Sepengertian meski tak sepengakuan 

Toleransi dan saling menghormati antar umat beragama telah menjadi tradisi yang berurat-berakar di kalangan pemeluk Sunda Wiwitan.
swipe

Detik-detik menjelang malam Natal selalu menjadi waktu yang istimewa bagi Subrata dan istrinya, Rukwati. Sejak Kamis (24/12) pagi, keduanya sudah sibuk mempercantik rumah mereka di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Berbagai kudapan dan pernak-pernik khas Natal disiapkan. 

Menjelang sore, suasana rumah yang sebelumnya sepi mendadak meriah. "Nah, ini anak sama cucu saya yang Katolik dari Bandung. Saya juga punya dua anak yang penghayat kepercayaan," seru Rukwati saat menyambut kedatangan putri bungsu dan cucunya di depan pintu. 

Subrata dan Rukwati merupakan penghayat Sunda Wiwitan. Mereka memiliki dua putri dan satu putra. Satu putra dan satu putri mereka ikut kepercayaan orang tua dan memeluk Sunda Wiwitan. Si bungsu ikut suaminya yang beragama Katolik. 

Subrata menuturkan, ia tak pernah mempersoalkan pilihan agama putra dan putrinya. Apalagi, keluarga berbeda agama merupakan hal yang lumrah di kalangan kaum Sunda Wiwitan di perkampungan yang terletak di kaki Gunung Ciremai itu. 

"Kami dipesankan oleh leluhur kami, 'Meskipun hidup tidak sepengakuan tapi kita hidup harus saling pengertian.' Artinya, kita hidup harus mengedepankan sifat perikemanusiaan. Bagi saya, kalau sudah dewasa itu adalah hak dia (putra-putrinya) sendiri mau ke mana," tutur pria berusia 72 tahun itu. 

Subrata mengaku masih keturunan Pangeran Kusuma Adiningrat atau Pangeran Madrais. Sang lelulur ialah pencetus agama Djawa Sunda (ADS) atau Sunda Wiwitan. Pada 1869, Pangeran Madrais sempat terlibat pemberontakan melawan Belanda di Tambun, Bekasi. 

Menurut catatan sejarah, Pangeran Madrais meninggal pada 1939. Ketika itu, jabatan sebagai pemimpin komunitas adat Sunda Wiwitan jatuh ke tangan putranya, Pangeran Tedjabuana Alibassa. 

Pada dekade 1960-an, pemerintah Soeharto melarang Sunda Wiwitan. Pangeran Tedjabuana kemudian membebaskan para penganut Sunda Wiwitan untuk pindah ke agama-agama yang diakui negara. Ia sendiri memilih memeluk Katolik. 

Ajaran para lelulur, kata Subrata, terus dipegang oleh komunitas Sunda Wiwitan di Cigugur. Yang paling utama ialah sikap saling menghormati antara umat beragama.  

"Jadi, pada dasarnya kami meyakini semua agama yang ada di Nusantara tujuan kepada Yang Satu. Beliau (Pangeran Madrais) itu mengajarkan agar manusia bisa hidup damai, meski tidak sepengakuan karena perbedaan itu datang dari Tuhan," ucapnya.

Pandangan hidup semacam itu, lanjut Subrata, membekas dalam kehidupan sehari-hari. Konflik karena perbedaan agama hampir tidak pernah terjadi. Apalagi, komunitas Sunda Wiwitan masih terikat tali persaudaraan. 

"Dalam kegotong-royongan dan acara apa pun kita itu bersama. Apalagi kalau ada yang kena musibah, itu pasti tolong-menolong orang Cigugur," ujar Subrata.

Semangat toleransi beragama itu bukan mutlak milik keluarga Subrata saja. Gugun Guntara, warga Cigugur lainnya, pun demikian. Ia juga lahir di keluarga multireligi. 

"Saudara saya aja, ada yang Muslim dan penghayat. Di sini mah banyak yang kayak gitu. Soalnya kita masih saudara, masih satu kakek buyut," ujar Gugun saat ditemui Alinea.id di Gereja Katolik Cigugur, Kamis (23/12).

Gugun memeluk Katolik. Setiap Natal, ia rutin berkumpul bersama keluarga besar. Tak hanya yang satu agama, yang berbeda agama dan yang masih memeluk ajaran Sunda Wiwitan juga hadir untuk menyemarakkan perayaan Natal di rumahnya. 

"Kalau Lebaran, saudara yang Islam suka berkirim makanan ke yang Katolik sama yang penghayat. Bila ada penghayat yang meninggal, dari Islam dan Katolik itu datang saling bantu dan menguatkan. Kalau ada yang terkena musibah juga kami turun. Begitu pun sebaliknya," kata Gugun.

Potret harmoni antar umat beragama juga terlihat di pemakaman desa Cigugur. Di sana, Alinea.id bertemu dengan Ira Indrawardana seorang penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Ira baru saja tuntas membersihkan makam kerabatnya yang beragama Katolik. 

"Saat Natal, saya biasa ziarah ke makam kakak ibu yang beragama Katolik dan saudara yang Katolik serta ke makam bapak saya yang penghayat Sunda Wiwitan," ujar Ira.

Suasana misa Natal di gereja Katolik, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (24/12). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Dirawat para pemuka agama 

Pemuka agama Islam di Cigugur, Djojo Andjar Djohantara, mengatakan toleransi beragama di Cigugur merupakan buah interaksi antara pemeluk agama puluhan tahun. Menurut Djojo, masyarakat Cigugur sudah terbiasa menyelesaikan beragam persoalan bersama-sama. 

"Mulai dari kerja bakti dan memutuskan sesuatu untuk masyarakat, kami lakukan bersama-sama tanpa ada rasa curiga satu sama lain," ujar Djojo kepada Alinea.id

Tanpa mengesampingkan pemeluk agama lainnya, menurut Djojo, masyarakat Cigugur punya tiga hari raya besar, yakni Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru Islam atau 1 Suro. Ketiga perayaan itu merupakan simbol keberagaman agama dan keyakinan di Cigugur. 

"Ketika Lebaran itu, giliran orang Islam mengirim makanan-makanan ke penghayat. Kalau 1 Muharam itu, giliran penghayat yang mengirim makanan ke kami. Pada tanggal 25 Desember juga begitu. Masyarakat Islam yang punya saudara Kristen, ya, saling kirim makanan," tutur Djojo. 

Pada dasarnya, menurut Djojo, harmoni antar umat beragama itu bisa tercipta lantaran warga Cigugur masih terikat tali kekerabatan. Hajatan-hajatan besar di Cigugur sudah lazim dihadiri kerabat dari berbagai agama. 

"Sampai sekarang pun, kalau kami ada hajatan, baik pernikahan maupun khitanan, mereka kami undang. Karena itu masih satu nasab (keturunan) meski berbeda agama. Ikatan nasab itu sangat kami hormati," ucap pria berusia 72 tahun itu. 

Sikap saling menghormati, lanjut Djojo, juga dirawat dengan sangat serius oleh para pemuka agama di Cigugur. Ia mengatakan setiap pemuka agama di kampung tegas mewajibkan umat beragama yang dipimpin mereka untuk tidak menghina tradisi dan keyakinan umat beragama lain. 

"Semua punya rambu-rambu, baik penghayat, Katolik, Protestan dan Islam. Semuanya saling menjaga rambu-rambu. Jadi, silakan saja berinteraksi, tapi jangan sampai melanggar rambu-rambu agama masing-masing. Tokoh agama harus mengingatkan bilamana ada umatnya yang melanggar," kata dia. 

Pemuka agama Katolik di Cigugur, Romo Andreas Dedi, membenarkan ucapan Djojo. Menurut dia, sikap toleransi di antara umat lahir secara alamiah karena ikatan kekerabatan.  

"Pada umumnya, di sini itu masih saudara juga satu sama lain. Ini yang mendukung kerukunan di sini. Jadi, kalau ditarik ke atas itu masih satu kakek satu sama lain," ujar pria yang akrab di sapa Romo Dedi ini kepada Alinea.id, Kamis (24/12).

Menurut Romo Dedi, masyarakat di Cigugur sering diprovokasi untuk saling berselisih satu sama lain oleh pihak luar. Namun, provokasi itu selalu gagal. "Pada dasarnya, ikatan kekeluargaan dan persaudaraan di sini itu kuat," imbuh dia. 

Kepada jemaatnya, Romo Dedi mengatakan, ia selalu berpesan agar menghargai tradisi lokal dan iman orang lain. Ia pun selalu menekankan agar umat Katolik di Cigugur selalu siap menolong jika sesama saudaranya tengah mengalami kesulitan. 

"Kami tekankan, 'Kasihilah sesamamu, meski berbeda agama.' Bila ada bencana, musibah dan lain sebagainya, jangan sampai berpikir itu mah di lingkungan orang Muslim dan orang Kristen. Harus tetap ditolong tanpa membawa embel-embel agama," kata dia. 

Romo Dedi tak mempersoalkan jika ada umatnya yang mengikuti ritual Sunda Wiwitan. Menurut dia, kearifan lokal seperti itu justru mesti dirawat dan dipertahankan. 

"Pada dasarnya, mereka saling bersaudara. Begitu pun bila ada satu keluarga Katolik yang meninggal. Bilamana ingin didoakan secara penghayat juga enggak masalah. Saya kira Tuhan tidak menolak menerima doa dari siapa saja," ujarnya.

Pupuhu (pemimpin) adat Akur Sunda Wiwitan Pangeran Gumirat Barna Alam atau yang akrab disapa Rama Anom berfoto di kediamannya di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Rabu (23/12). Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin

Ratusan tahun hidup dalam keberagaman

Pupuhu (pemimpin) adat Akur Sunda Wiwitan Pangeran Gumirat Barna Alam atau yang akrab disapa Rama Anom, mengatakan bahwa leluhurnya mengajarkan untuk tidak sinis terhadap keyakinan orang lain. 

"Semua tuntunan diturunkan oleh Tuhan untuk (manusia hidup) saling berdampingan. Bukan untuk saling berperang," ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (23/12).

Sebagaimana keluarga penghayat Sunda Wiwitan pada umumnya, keluarga Rama Anom juga multireligi. Kakak perempuan tertua Rama Anom ialah seorang pendeta Kristen, sedangkan kakak perempuannya yang lain memeluk Katolik. 

"Lalu, yang (kakak perempuan) ketiga Islam. Saya sendiri penghayat Akur Sunda Wiwitan, lalu adik saya ada yang Islam, ada yang penghayat dan Katolik juga," ujar dia. 

Menurut Rama Anom, Pangeran Madrais memberikan kebebasan bagi perempuan untuk memilih keyakinannya sendiri bila mendapatkan pasangan hidup yang berbeda agama. "Tapi, laki-laki itu tidak bisa karena laki sebagai penerus ajaran leluhur," ucapnya. 

Meski diperbolehkan berbeda keyakinan, seorang perempuan dari komunitas Sunda Wiwitan tetap diwajibkan menjalankan tradisi lokal. Itu supaya nilai-nilai budaya yang diturunkan para leluhur bisa dilestarikan. 

"Jadi, walaupun sudah jadi Kristiani atau sudah masuk Muslim, jangan jadi pemeluk agama yang fanatis secara berlebihan dan harus tetap berjiwa nasionalis, humanis, dan tetap mencintai kebangsaannya," tutur dia. 

Sebagaimana tuntutan para leluhur, Rama Anom mengatakan, komunitas Sunda Wiwitan wajib mempertahankan tali persaudaraan meskipun telah berpindah keyakinan. Upaya itu, misalnya, dilakukan dengan merencanakan dan menggelar ritual Seret Taun bersama-sama. 

"Itu kami jadikan ajang perekat tali persaudaraan umat beragama di Cigugur karena kami masih saudara. Jadi, mau agamanya apa, semuanya ikut menjadi peserta pelaksana di upacara tersebut," ucapnya.

Seret Taun adalah upacara adat panen padi masyarakat Sunda yang rutin digelar setiap tahun. Upacara ini lazimnya digelar sebagai bentuk pemuliaan terhadap Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi dan kesuburan dalam kepercayaan Sunda kuno. 

Dengan merawat tali persaudaraan dan saling menghargai, Rama Anom meyakini, harmoni antarumat beragama bakal terus awet di Cigugur. "Selama kurang lebih 200 tahun kami hidup berdampingan satu sama lain," ucapnya.

 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan