close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Para pekerja beraktivitas dengan alat berat mengerjakan jalan tol Banda Aceh - Sigli di kawasan Montasik, Aceh Besar, Aceh. Antara Foto
icon caption
Para pekerja beraktivitas dengan alat berat mengerjakan jalan tol Banda Aceh - Sigli di kawasan Montasik, Aceh Besar, Aceh. Antara Foto
Nasional
Selasa, 30 Juli 2019 19:31

Tradisi masyarakat tercerabut karena infrastruktur

Jika dampak negatif pembangunan infrastruktur tidak diminimalisir, khawatir efeknya membuat masyarakat terbelah atau berkonflik.
swipe

Direktur Eksekutif Populi Center, Hikmat Budiman, mengatakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintahan Jokowi di wilayah Indonesia bagian timur membuat tradisi masyarakat di sekitar lokasi itu  tercerabut. 

Hikmat mengakui, pembangunan kawasan Indonesia Timur di era pemerintahan Jokowi-JK jauh lebih pesat dan konkret, ketimbang di masa pemerintah sebelumnya. Namun demikian, adanya pembangunan infrastruktur tersebut menimbulkan pro dan kontra. Selain berdampak positif, ada dampak negatifnya.  

Dari hasil penelitian Populi Center yang bekerja sama dengan Yayasan Obor Indonesia, mengungkapkan bahwa dampak negatif pembangunan infrastruktur membuat tradisi atau ketentuan adat masyarakat tercerabut setelah adanya pembangunan jalan. Sedangkan dampak positifnya memudahkan proses advokasi bagi kepentingan masyarakat banyak.

“Justru bagi saya, dampak positif dan negatif itu menjadi pembelajaran bagi kita, apa yang luput dari proses pembangunan selama ini,” kata Hikmat dalam sebuah diskusi buku berjudul Ke Timur Haluan Menuju: Studi Pendahuluan tentang Integrasi Sosial, Jalur Pedagangan, Adat, dan Pemuda di Kepulauan Maluku (2019), di Jakarta, Selasa (30/7).

Meski pembangunan infrastruktur lebih masif dibanding pemerintah sebelumnya, menurut Hikmat, pembangunan infrastruktur di kawasan Indonesia Timur dianggap masih kurang. Terlebih, di kawasan tersebut tergambar situasi yang paradoks.

Karena itu, Hikmat berpendapat, pemerintah agar lebih memperhatikan pemerataan dan keadilan sosial-ekonomi di kawasan Indonesia Timur. Menurut Hikmay, karena menimbulkan dampak negatif, pembangunan tetap harus dilakukan sembari berhati-hati dalam penerapannya.

Sebab, kata Hikmat, jika dampak negatif pembangunan infrastruktur tidak diminimalisir, khawatir efeknya membuat masyarakat menjadi terbelah atau berkonflik.

Sementara Peneliti di Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya (P2MB) LIPI, Khairul Muqtafa, mengatakan buku berjudul Ke Timur Haluan Menuju: Studi Pendahuluan tentang Integrasi Sosial, Jalur Pedagangan, Adat, dan Pemuda di Kepulauan Maluku (2019) menghimpun hasil penelitian di Kepulauan Banda, Ambon, Halmahera Utara, dan Pulau Geser.

Khairul mengatakan, penelitian mengenai Indonesia Timur harus semakin digiatkan. Buku tersebut menjadi salah satu pelopor yang membahas persoalan sosio-kultral dari pembangunan di Indonesia Timur.

“Ditinjau dari berbagai aspeknya, Indonesia Timur itu punya beragam masalah. Di Banda, misalnya pengelolaan hasil alam pala dan ikan muncul masalah dengan kehadiran tengkulak,” ujar Khairul.

Lebih lanjut, Khairul menyebut, ada tiga dimensi dalam kajian pembangunan yaitu aspek material, teknik transformasi atau perubahan, dan produksi pengetahuan. Menurut dia, selama ini pembangunan dianggap sebagai persoalan teknis semata. Padahal, diperlukan tim khusus untuk menangani aspek sosial-politik-budaya dari proses pembangunan tersebut.

“Pembangunan itu membutuhkan birokrasi dan lembaga yang memudahkan proses transformasi atau perubahan supaya berjalan baik dan meminimalisir risikonya,” kata Khairul.

img
Robertus Rony Setiawan
Reporter
img
Tito Dirhantoro
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan