Sejak dinyatakan sebagai kasus pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2005, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai negara tidak pernah serius menyelesaikan kasus tragedi Mei 1998.
"Tidak pernah ada tindak lanjut yang diambil oleh Kejaksaan Agung, untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat yang ter jadi," ujar Deputi Direktur Riset ELSAM, Wahyudi Djafar dalam keterangannya, Selasa (12/5).
Pemerintah Indonesia, lanjut Wahyudi, telah berulang kali berjanji akan menyelesaikan kasus kerusuhan Mei 1998, meskipun pada akhirnya tidak pernah ada langkah konkret yang dilakukan.
"Kejaksaan Agung selalu mengulang-ulang alasan yang sama untuk tidak menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan, tanpa berupaya untuk memberikan dukungan yang memadai sesuai dengan kewajiban dan tanggungjawabnya untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada," katanya.
Di sisi lain, sambung dia, Kejaksaan Agung juga terkesan tidak serius dalam menyelesaikan kasus kerusuhan Mei 1998 melalui pengadilan HAM ad hoc, melalui jalur non-yudisial.
Padahal, jelas dia, Kerusuhan Mei 1998 telah menjadi penanda kelam dalam sejarah reformasi politik di Indonesia.
Dia menambahkan, sudah lebih dari dua dekade silam, rangkaian kerusuhan menyusul pengangkatan Soeharto sebagai Presiden RI untuk yang ketujuh kalinya dalam Sidang Umum MPR RI 1998, telah menimbulkan sejumlah tindakan pelanggaran HAM berat yang tidak kunjung tuntas hingga saat ini.
"Rangkaian kerusuhan tersebut terjadi dalam kurun 12-15 Mei 1998, diawali dengan terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti dalam aksi demonstrasi mahasiswa, pada 12 Mei 1998. Kemudian disusul kerusuhan dengan korban etnis Tionghoa, yang meluas pada 13-15 Mei 1998 terutama di Jakarta, Medan, Surakarta, dan Surabaya, menewaskan lebih dari seribu orang dan puluhan lainnya luka-luka," ungkap Wahyudi.
Dia lantas membeberkan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta yang dirilis pada November 1999, bahwa selain korban tewas dan luka-luka, juga terdapat tindak kekerasan seksual yang sistematis terhadap 85 perempuan etnis Tionghoa dalam periode 13-15 Mei 1998.
"Peristiwa tersebut telah menimbulkan trauma yang mendalam bagi korban dan keluarganya, serta menjadi preseden buruk dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara," jelasnya.
Berdasarkan hal itu ELSAM merekomendasikan tiga hal. Pertama, mendesak Jaksa Agung untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 12-15 Mei 1998.
"Dengan mengambil langkah-langkah yang optimal sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM," urainya.
Kedua, mendesak presiden untuk memberikan instruksi kepada Jaksa Agung, untuk segera mengambil langkah-langkah sesuai mandat dan wewenang yang dimilikinya, demi penyelesaian pelanggaran HAM berat 12-15 Mei 1998.
"Ketiga, mendesak Pemerintah Indonesia untuk mengakui dan meminta maaf atas terjadinya pelanggaran HAM berat pada 12-15 Mei 1998, yang diikuti dengan menetapkan langkah-langkah yang strategis untuk memulihkan hak-hak korban dan keluarganya secara menyeluruh," pungkasnya.