Bersama rekan-rekannya sesama mahasiswa Universitas Katolik Atma Jaya, Bernoldus Harly Ampak kembali 'menggedor' pintu gerbang Istana Negara, Jakarta, Rabu (13/11) sore itu. Hanya sekitar 70 orang rekan Harly yang hadir menemaninya dalam aksi unjuk rasa rutin tersebut.
"Ini (melakukan aksi) menjadi sebuah rutinitas bagi kami. Kami tidak pernah merasa puas, tidak pernah merasa bosan, atau tidak pernah putus asa mengenai suara kami. Suara untuk menuntaskan pelanggaran HAM masa lalu," ujar Harly kepada Alinea.id di sela-sela aksi.
Aksi unjuk rasa itu merupakan bagian dari rangkaian kegiatan memperingati kematian Bernardinus Realino Norma Irmawan atau yang akrab disapa Wawan. Tepat 21 tahun lalu, mahasiswa Atma Jaya angkatan 1996 itu rebah diterjang peluru tajam.
Selain Wawan, sebanyak 16 warga sipil lainnya tewas dalam rangkaian aksi unjuk rasa menolak rezim Orde Baru dan pemerintahan Soeharto pada 11-13 November 1998. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Tragedi Semanggi I.
Kurang lebih selama 45 menit, Harly dan rekan-rekannya menyuarakan tuntutan. Aksi unjuk rasa 'sederhana' itu kemudian ditutup dengan upacara bendera setengah tiang dan pembacaan doa.
"Maka sudah purna juga kegiatan kita hari ini. Tapi, apa? Perjuangan kita tidak akan purna oleh waktu. Tidak akan pernah purna," ujar Harly sebelum ia dan rekan-rekannya membubarkan diri.
Peringatan kematian Wawan juga dihelat di kampus Harly. Di puncak gedung Universitas Atma Jaya, Semanggi, sebuah spanduk raksasa dibentangkan. Isinya kurang lebih menuntut para pelanggar HAM segera dibawa ke meja hijau.
Di dalam gedung, ibunda Wawan, Maria Katarina Sumarsih atau yang akrab disapa Bu Marsih, menggelar acara tabur bunga. Sejumlah perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan puluhan mahasiswa Atma Jaya hadir mendampingi Sumarsih.
Dalam jumpa pers di tempat yang sama, Sumarsih mengatakan, sebenarnya tak sulit mengumpulkan bukti-bukti untuk mengungkap kasus kematian Wawan. Pasalnya, masih banyak saksi Tragedi Semanggi 1 yang masih hidup.
Apalagi, lanjut Sumarsih, mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn) Kivlan Zen pun telah mengakui membentuk Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swakarsa atas perintah mantan Panglima ABRI Jenderal TNI (Purn) Wiranto pada 1998.
Pam Swakarsa adalah sebutan untuk kelompok sipil bersenjata tajam yang dibentuk untuk membendung aksi mahasiswa sekaligus mendukung sidang istimewa MPR pada 1998. Selama sidang istimewa MPR, Pam Swakarsa berkali-kali terlibat bentrokan dengan para pengunjuk rasa.
"Untuk itu, kami mengharap agar Kejaksaan Agung menggunakan kesaksian para jenderal ini sebagai pintu masuk untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan kasus Semanggi I Semanggi II, dan Trisakti ke tingkat penyidikan," kata Sumarsih.
Menagih janji Jokowi
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya berharap kasus kematian Wawan dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu lainnya dibahas dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III, KemenkumHAM, KomnasHAM, dan Kejagung, pekan depan.
"Kami berharap dalam pembahasan itu ada pembahasan yang komprehensif yang mana merumuskan satu kebijakan yang akuntabel yang sangat pro terhadap korban dan juga keluarga korban HAM berat terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM itu sendiri," ujar Dimas.
Dimas juga menagih janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagaimana tertuang dalam Nawacita, visi-misi pemerintahan Jokowi-JK pada periode 2014-2019.
"Kita sama-sama tahu dalam periode pertama Jokowi tidak ada satu pun klausula pelanggaran HAM yang terselesaikan. Sehingga itu wajib untuk diselesaikan pada termin kedua. Kita harap ada implementasi konkretnya dalam lima tahun periode keduanya Pak Jokowi," ujar Dimas.
Wakil Rektor III Universitas Atma Jaya Tommy N. Tanumihardja mengakui tidak mudah untuk mengungkap kasus kematian Wawan dan para pejuang demokrasi pada 1998 tanpa adanya komitmen yang kuat dari pemerintah.
Karena itu, ia berharap Tragedi Semanggi I tidak hanya menjadi perhatian sekelompok kecil masyarakat saja. "Mungkin 21 tahun lagi kita masih berkumpul di sini dan tetap memperjuangkan hal yang sama," ucap dia.