Nasib transpuan di masa pandemi: Terpuruk, tak terjamah program pemerintah
Apes benar nasib Mami Nur, seorang transpuan asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang berprofesi sebagai pekerja seks di bilangan Kalideres, Jakarta Barat. Pada Senin (26/4) ia mengaku dikeroyok sekelompok orang lantaran dituduh mencuri ponsel. Rekan seprofesinya, Rudi yang “mangkal” di tempat yang sama juga jadi sasaran para pengeroyok.
"Mereka berenam memukuli secara bergantian sampai kami tersungkur," ujar Rudi ketika berbincang dengan Alinea.id, Selasa (27/4).
Mereka lalu dibawa ke Batu Ceper, Tangerang, Banten. Di sana, mereka disekap dan terus dipukuli beberapa orang. Nur dan Rudi dilepas dua jam kemudian, setelah uang dan beberapa barang milik mereka dirampas.
Tak dapat bansos, tak jadi prioritas vaksin
Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Selain berjuang di jalanan demi mencari uang, dengan risiko ancaman kekerasan, Nur dan Rudi mengaku tak terjamah tangan pemerintah terkait bantuan sosial di masa pandemi Covid-19.
“Orang lain dapat, kita mah enggak dapat dari awal pandemi,” kata Nur.
Sementara Rudi mengaku, acap kali menerima perlakuan kurang baik dari lingkungannya tinggal di daerah Poris, Tangerang, Banten ketika bertanya soal bantuan sosial. “Saya nanya baik-baik ke RT dan RW, balasannya, ‘kamu enggak diusir aja udah bagus, pake nanya dapat bansos apa enggak’,” ucap Rudi.
Akhirnya, Nur dan Rudi sudah tak pernah berharap lagi akan mendapat bantuan dari pemerintah. Padahal, Nur mengaku punya KTP.
“Kami sudah sering diperlakukan seperti sampah,” tutur Nur. “Jadi, kami enggak berharap. Ketimbang nantinya kecewa.”
Namun, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Nur mengaku ingin sekali mendapatkan perlakuan yang sama dengan masyarakat lainnya. Terlebih di masa sulit pandemi Covid-19.
“Pendapatan kami turun. Buat beli apa-apa serba susah,” ujar Nur.
Selama pandemi yang sudah berjalan lebih dari setahun, Nur mengatakan, tak sekalipun ada bantuan dari pemerintah yang ia terima. Ia hanya bisa melihat terkait bantuan-bantuan pemerintah itu dari layar televisi.
Saat program vaksinasi Covid-19 gencar dilakukan pemerintah, Nur dan Rudi pun seakan jauh dari jangkauan. Nur mengatakan, sering kali perasaannya terganggu ketika mendengar kabar ada vaksinasi untuk lansia di lingkungan tempatnya tinggal di Senen, Jakarta Pusat.
“Saya suka mikir, orang kayak saya tuh dapat vaksin enggak sih?” kata transpuan berusia 60 tahun itu.
Menurut juru bicara vaksinasi Covid-19 dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, transpuan memang belum menjadi sasaran vaksinasi. Alasannya, saat ini yang menjadi prioritas adalah tenaga pelayanan publik dan lansia.
“Kami pun dalam menetapkan vaksinasi bukan melihat seseorang itu transpuan atau transgender. Sebab target vaksinasi merupakan masyarakat yang berusia 18 sampai 59 tahun,” kata dia saat dihubungi, Jumat (30/4).
Nadia mengatakan, bukan perkara gampang menjangkau kalangan rentan di akar rumput, seperti transpuan. Mereka kerap terganjal masalah identitas.
“Vaksinasi memang tidak akan melihat domisili, tapi mereka harus punya nomor induk kependudukan (NIK),” ujar Nadia.
“Semua warga negara Indonesia harus punya nomor induk kependudukan dan gender pun sudah diakomodir dalam KTP. Artinya, mereka harus tetap punya NIK.”
Beberapa waktu lalu, Dirjen Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, akan membantu pembuatan KTP elektronik bagi transgender. Namun, tak ada kolom jenis kelamin transgender di KTP elektronik tersebut. Jenis kelamin hanya diisi perempuan atau laki-laki kecuali sudah ada keputusan pengadilan.
Lebih lanjut, Nadia menyarankan kepada transpuan yang belum punya KTP untuk segera mengurus administrasi ke Dukcapil setempat. “Kalau tidak ada, agak susah nanti,” ucap Nadia.
Meski begitu, Nadia mengatakan, berdasarkan data dari Kemenkes, sudah ada transpuan yang mendapat suntikan vaksin Covid-19. Walau masih sebatas relawan Covid-19 atau kader kesehatan di lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Tapi itu biasanya lingkup daerah yang mengatur,” ujar Nadia.
Bahu membahu, saling membantu
Menurut artikel “Supporting transgender people during the Covid-19 pancemic” yang terbit di situs web UNAIDS, 6 April 2020, dari 1.000 orang yang hidup dengan HIV yang disurvei Jaringan Indonesia Positif, lebih dari 50% mengalami dampak buruk pada mata pencaharian mereka, termasuk transpuan.
Di masa-masa awal pandemi di Indonesia, Sanggar Waria Remaja (SWARA) yang melakukan riset menemukan bahwa lebih dari 640 transpuan di Jabodetabek kehilangan pekerjaan, sehingga mereka tak bisa menghidupi diri sendiri. Jumlah ini tentu meningkat seiring tak usainya pandemi hingga kini.
Sejak akhir Maret 2020, Koalisi Crisis Response Mechanism (CRM) yang berisi LBH Masyarakat, Arus Pelangi, SWARA, dan Gaya Warna Lentera (GWL) Indonesia dengan dukungan UNAIDS Indonesia berinisiatif menggalang dana bagi komunitas transgender. Hasilnya, dalam waktu kurang dari seminggu, berhasil terkumpul lebih dari Rp67 juta. Bantuan didistribusikan berupa paket makanan dan kebersihan kepada lebih dari 530 transpuan di Jabodetabek.
Dihubungi terpisah, koordinator transpuan lansia dari Suara Kita—organisasi perjuangan kesetaraan dan keadilan bagi lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT)—Titin Wahab mengakui, kelompok transpuan kerap kali luput dari perhatian pemerintah.
“Bahkan, sering dilecehkan saat ingin mengakses fasilitas dari pemerintah,” ucap Titin saat dihubungi, Kamis (29/4).
Titin mengatakan, masalah identitas adalah perkara utama kelompok transpuan sering mengalami diskriminasi. Pasalnya, banyak program pemerintah yang meminta syarat identitas diri.
“Mereka banyak yang tidak memiliki KTP. Rata-rata mereka itu terusir dari keluarganya atau kabur. Tapi, tidak membawa identitas,” katanya.
“Imbasnya, para transpuan itu sering kali kesulitan ketika mengakses perbankan dan kesehatan.”
Titin pun mengakui, kehidupan transpuan di masa pandemi semakin terpuruk. Mereka banyak yang tak mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Padahal, pendapatan mereka pun sudah sangat merosot.
“Alasannya karena mereka tidak memiliki KTP, jadi tidak mendapatkan bansos,” kata Titin.
Hal ini membuat banyak transpuan kelimpungan. Terutama bagi mereka yang sudah lansia. “Pandemi jelas membuat mereka semakin rentan,” ujarnya.
Titin sangat paham tentang kesulitan yang dialami para transpuan menghadapi pandemi. Dahulu, Titin merupakan transpuan yang pernah hidup di jalanan. “Sebelum aktif di Suara Kita, saya pengamen,” kata Titin.
Untuk meringankan beban mereka, Titin mengatakan, pihaknya sering menggalang dana. Dana yang terkumpul, katanya, disalurkan kepada para transpuan agar tetap bisa bertahan hidup.
“Keadaan ekonomi mereka menurun dan tidak stabil sejak pendemi terjadi," kata Titin.
Ia pun masih mempertanyakan terkait program vaksinasi Covid-19 dari pemerintah untuk transpuan. Sejauh ini, Titin menuturkan, vaksinasi baru datang dari LSM, bukan dari pemerintah.
“Itu pun teman-teman bisa mendapatkan kuota vaksin dari Komisi Penanggulangan AIDS karena mereka aktif di situ. Pemerintah sampai saat ini belum ada,” kata dia.
Senada dengan Titin, manajer program SWARA Rere Agistya mengakui, kelompok transpuan banyak yang tak menerima bantuan pemerintah selama pandemi. Selain karena perkara identitas, Rere menyebut, kelompok transpuan juga terganjal persoalan domisili.
“Kelompok transpuan itu sering berpindah-pindah. Sementara persyaratan untuk mendapatkan bantuan sosial itu cukup menyulitkan, harus didata kemudian diberikan ke RT/RW,” ujar Rere saat dihubungi, Kamis (29/4).
“Itu agak sedikit merepotkan bagi kelompok transpuan. Sehingga mereka luput dari bantuan sosial pemerintah.”
Persoalan identitas juga dipandang Rere berimbas kepada pelayanan masyarakat yang tak ramah terhadap transpuan. “Transpuan sulit mengakses pelayakan kesehatan seperti BPJS. Jadi, efeknya berkelanjutan,” tuturnya.
Serupa seperti usaha Suara Kita, Rere mengatakan, SWARA juga menggalang dana untuk membantu kalangan transpuan di akar rumput yang terpuruk di masa darurat kesehatan sekarang ini.
"Secara swadaya, kami membuka penggalangan dana. Kemudian kami salurkan ke kawan-kawan di beberapa provinsi," kata Rere.
Kendati demikian, Rere mengatakan, tak semua kebutuhan transpuan bisa dipenusi secara maksimal. Banyak transpuan yang merupakan tulang punggung keluarga, memiliki kebutuhan tak sedikit.
"Penghasilan mereka berkurang, tapi kebutuhan mereka bertambah. Sehingga banyak dari mereka itu yang kelimpungan di masa pandemi ini," kata Rere.