Tren kriminalisasi dan urgensi regulasi perlindungan aktivis
Meskipun sudah tujuh tahun berlalu, Mustaghfirin masih ingat betul saat ia digelandang ke Polres Kepulauan Seribu di Cilincing, Jakarta Utara. Ketika itu, kalender menunjukkan 11 Maret 2017. Ia dituduh melakukan pungutan liar (pungli) kepada wisatawan di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kepulauan Seribu.
Mustaghfirin dan sejumlah rekannya tak menarik pungli, namun mengumpulkan donasi dari para pengunjung. Duit itu rencananya bakal digunakan untuk menjaga kebersihan pantai dan membangun beragam fasilitas untuk meningkatkan kenyamanan wisata, semisal lampu jalanan dan tempat duduk.
"Padahal, donasi itu kesepakatan warga untuk keperluan pengembangan wisata dan santunan bagi para janda," ucap Mustaghfirin kepada Alinea.id, Senin (22/1).
Saat berkasnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, tuduhan pungli berubah menjadi pemerasan dengan kekerasan sebagaimana yang diatur dalam pasal pasal 368 KUHP. Bersama dua warga Pulau Pari lainya yakni Bahrudin alias Edo dan Mastono alias Baok, Mustaghfirin pun disidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pengadilan memutus Mustaghfirin bersalah dengan hukuman 6 bulan 14 hari penjara di Lembaga Permasyarakatan Cipinang. Merasa tak bersalah, ia dan rekan-rekannya mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Jakarta lantas membebaskan ketiga nelayan Pulau Pari itu.
"Benar juga kata orang, 'Hukum itu tajam ke bawah, tumpul ke atas.' Saya yang mengalaminya. Padahal, kami berusaha mempertahankan tanah dan lingkungan kami sebagai tempat hidup kami," kata Mustaghfirin.
Mustaghfirin paham ia dan rekan-rekannya telah dikriminalisasi. Ia menduga ada pengusaha atau investor yang tak suka dengan aktivitasnya merawat lingkungan di Pulau Pari. Pengusaha ingin mereka hengkang demi menguasai pulau wisata andalan Kepulauan Seribu itu.
"Pantai wisata dari hasil swadaya warga yang sebelumnya itu adalah semak belukar yang orang susah untuk lewat. Hanya ada jalan yang enggak lebih satu meter. Itu saja mau direbut. Sekarang Pulau Pari sudah menjadi icon wisata andalan di Pulau Seribu," ucap Mustaghfirin.
Mustaghfirin menyadari kasus kriminalisasi yang ia alami bersama rekan-rekannya tak tunggal. Di berbagai tempat, ia mengetahui banyak pejuang lingkungan dan pembela HAM yang juga dikriminalisasi. Menurut dia, itu terjadi karena negara tak pernah serius melindungi para aktivis seperti mereka.
"Pembela lingkungan wajib untuk dibela. Harusnya ada aturan resmi yang dibuat untuk melindungi hak pelindung lingkungan dari kriminalisasi. Pemerintah mesti buat undang- undang," ucap Mustaghfirin.
Kasus-kasus intimidasi dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan memang melonjak dalam sepuluh tahun terakhir. Merujuk catatan Auriga Nusantara, setidaknya ada 133 kasus strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau ancaman terhadap pembela lingkungan di Indonesia sedari 2014 hingga 2023.
Khusus 2023, tercatat ada 30 kasus SLAPP, naik dari angka tahun sebelumnya yang mencapai 24 kasus. Kriminalisasi terhadap pembela lingkungan merupakan kasus yang paling mendominasi dengan 82 kasus, diikut kekerasan fisik (20 kasus), intimidasi (15 kasus), pembunuhan (12 kasus), imigrasi atau deportasi (2 kasus), dan perusakan properti (2 kasus).
Manajer Hukum dan Pembelaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Teo Reffelsen mengamini catatan Auriga Nusantara itu. Menurut dia, serangan terhadap aktivis lingkungan dan pembela HAM angkanya naik karena pemerintah juga kerap tutup mata menyikapi realita di lapangan.
"Ini menunjukan bahwa negara absen dalam melindungi mereka. Negara sebenarnya bukan tidak bisa, tapi memang tidak mau sehingga semua serangan terhadap pembela HAM tersebut dibiarkan begitu saja," ucap Teo kepada Alinea.id, Senin (22/1).
Teo menyebut sudah ada Undang-Undang 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada Pasal 66 UU itu, ada aturan berkonsep anti-SLAPP. " Pada level teknis, di Internal kejaksaan dan Mahkamah Agung juga sudah ada peraturan acara pemeriksaan SLAPP," ucap Teo.
Sayangnya, menurut Teo, penegak hukum tak punya pemahaman komprehensif mengenai regulasi perlindungan terhadap aktivis lingkungan. Budaya penegakkan HAM pada aparat penegak hukum juga masih sangat lemah. Polisi, jaksa dan hakim kerap mengabaikan perlindungan kepada aktivis lingkungan.
"Paralel dengan hal tersebut, masih banyak tersebar pasal-pasal karet (elastis) yang bisa dimanfaatkan untuk memidana pembela HAM. Kita lihat saja, misalnya, kasus Budi Pego. Dia orang yang memperjuangkan lingkungan, tapi dipidana atas perbuatan yang tidak pernah dia lakukan sama sekali," ucap Teo.
Budi Pego ialah aktivis anti tambang emas di Banyuwangi, Jawa Timur. Ia ditangkap Maret 2023 saat menggelar aksi unjuk rasa menolak tambang. Ia dicap komunis karena ada spanduk berlogo palu arit di antara peserta aksi. Padahal, Budi tak tahu apa itu Marxisme dan Leninisme.
Jika situasi itu dibiarkan, menurut Teo, bukan tak mungkin negara kian semena-mena terhadap aparat. Apalagi, sejarah mencatat banyak aktivis lingkungan dan HAM yang dibunuh karena vokal menyuarakan kritik terhadap pemerintah. "Sebagai contoh kasus pembunuhan Munir dan Golfrid Siregar," jelas Teo.
Munir ialah aktivis HAM yang tewas dibunuh agen Badan Intelijen Negara, sedangkan Golfrid adalah advokat dan aktivis lingkungan hidup dari Walhi. Golfrid ditemukan meninggal terkapar di bawah terowongan Titi Kuning, Medan, Sumatra Utara, 3 Oktober 2019.
Maraknya kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan HAM itu, lanjut Teo, menunjukkan bahwa regulasi yang melindungi mereka masih lemah. "Untuk memperkuat status pengakuan pembela HAM, perlu dibuat satu UU khusus mengenai perlindungan pembela HAM atau UU anti-SLAPP atau juga dapat melebur melalui revisi UU HAM," ucap Teo.