close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi truk kelebihan muatan. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
icon caption
Ilustrasi truk kelebihan muatan. Alinea.id/Debbie Alyuwandira
Nasional
Kamis, 17 Maret 2022 13:41

Dilema eksistensi truk ODOL: Antara kesejahteraan sopir dan kepentingan bisnis

Pemerintah bakal melarang truk kelebihan muatan beroperasi di jalan raya pada 2023.
swipe

Kawasan pergudangan Kebon Besar, Tangerang, Banten, terlihat "sumpek", Selasa (15/3) malam. Truk-truk pengangkut barang menjejali ruas-ruas jalan di kawasan industri yang tertetak tak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta itu. Hampir di sepanjang jalan, terpantau ada aktivitas bongkar-muat barang. 

Selain truk-truk "normal", sejumlah kendaraan dengan muatan dan dimensi berlebih alias truk over dimension over load (ODOL) juga terparkir di sejumlah ruas jalan. Pada beberapa truk, barang-barang kiriman terlihat menumpuk melebihi tinggi bak sehingga bak tersebut harus ditutup dengan terpal dan tari temali.

Yudi, salah seorang sopir perusahaan ekspedisi, mengatakan kawasan pergudangan Kebon Besar mulai ramai disambangi truk angkutan barang sejak beberapa hari belakangan. Itu seiring meningkatnya permintaan pengiriman beragam jenis barang kebutuhan pokok ke daerah jelang Ramadan. 

"Barang-barang (yang diminta dikirim) kayak terigu, kardus, beras, sama gula. Terus (permintaan terhadap) jagung itu juga naik," kata Yudi saat ditemui Alinea.id di salah satu gudang di kawasan industri tersebut. 

Meski frekuensi mengirim barang bertambah, Yudi "tak bahagia". Menurut dia, tambahan beban kerja tak serta merta mendongkrak pendapatan hariannya. "Cekak doang sebenarnya. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Ketimbang nganggur. Anak-istri enggak makan," kata Yudi.

Oleh kantornya, Yudi ditugasi mengirim barang ke Jabodetabek. Sekali jalan, ia dibekali duit operasional Rp400 ribu. Duit itu, kata Yudi, biasanya habis untuk membeli bahan bakar, ongkos bongkar muat, tol, dan membayar pungutan liar (pungli) kepada oknum polisi.

Di luar biaya-biaya operasional rutin itu, Yudi juga harus menanggung risiko truk mengalami kerusakan mesin dan pecah ban ketika berada di tengah jalan. Jika sedang apes dan truknya bermasalah, Yudi bahkan bisa tekor. 

"Kalau di luar Jakarta makin ngeri. Kadang cuma sisa Rp50 ribu buat dibawa pulang. Pemilik kendaraan tidak mau tahu. Apalagi soal pungli. Enggak mau tahu bosnya mah. Kalau udah ngasih Rp400 ribu, ya, udah enggak mau tahu ongkos yang lain," kata Yudi.

Situasi seperti itu, kata Yudi, yang terkadang membuat para sopir ekspekdisi menggendong muatan tambahan pesanan pengirim barang di luar yang telah disepakati pemilik kendaraan. Sesekali, Yudi pun melakukan itu. 

"Tapi, jarang saya melakukan itu. Kalau lagi butuh duit saja. Kalau over loading, punglinya juga (dibikin) makin gede sama polisi," kata pria asal Rangkasbitung, Banten itu. 

Petugas menempelkan stiker pada truk saat operasi penertiban 'over dimension' dan 'over load' di KM 41 tol Jakarta -Cikapek, Karawang, Jawa Barat, Jumat (13/3/2020). /Foto Antara

Keluhan serupa diungkap Eko Sujarwanto, seorang sopir ekspedisi jalur Jawa-Sumatera. Untuk perjalanan Surabaya-Palembang, misalnya, Eko dibekali duit operasional Rp2,8 juta. Duit operasional sebesar itu sudah termasuk upah Eko.

Namun, menurut Eko, ia terkadang hanya bisa membawa pulang Rp300 ribu ke rumah setelah tiga hari berkendara. Duit operasional habis untuk bahan bakar, tol, dan pungli di sepanjang jalan. "Belum kalau ban pecah atau mesin rusak, tambah menderita," kata dia. 

Duit operasional para sopir truk antar pulau, lanjut Eko, paling banyak digerus pungli. Di jalur Surabaya dan Palembang, misalnya, menurut Eko, dia harus berkali-kali merogoh kocek untuk membayar pungli yang diberlakukan oknum polisi, petugas Dishub, dan preman setempat. 

Di Palembang, Sumatera Selatan, Eko hampir pasti dikutip petugas di Jalan Macan Lindungan. Adapun di jalur tol Jawa, menurut Eko, "petugas" pungli biasanya bersiaga di sejumlah titik di sepanjang jalur tol Cipali dan Pemalang. 

"Kalau di Palembang itu bisa kena sampe Rp200 ribu untuk aparat. Kalau premannya Rp100-Rp150 ribu. Kalau di Jawa itu Rp50 ribu sekali minta," terang pria asal Temanggung, Jawa Tengah itu. 

Saat ini, pemerintah telah memberlakukan denda untuk truk-truk ODOL yang kedapatan beroperasi di jalan raya. Pada 2023, truk-truk obesitas itu bakal resmi dilarang mengaspal. 

Menurut Eko, beban hidup para sopir perusahaan ekspedisi bakal tambah berat jika larangan truk ODOL resmi diberlakukan. Pasalnya, biaya ekspedisi bakal membengkak jika muatan truk barang dikurang. Untuk efisiensi, perusahaan bisa jadi memotong duit operasional sopir. 

"Kadang sopir lebih banyak yang jadi korban di jalan. Saya sebenarnya setuju dengan (larangan) ODOL karena kita para sopir juga enggak khawatir kecelakaan. Tapi, kesejahteraan kami mbok dilihat juga," kata Eko. 

Pendapat serupa diutarakan Zaenal, sopir angkutan ekspedisi lainnya yang ditemui Alinea.id di kawasan pergudangan Kebon Besar. Menurut dia, tidak seharusnya sopir yang dipersalahkan lantaran truk-truk kelebihan muatan. Pasalnya, modifikasi truk dilakukan pemilik, bukan oleh para sopir. 

"Tapi, kadang hal-hal semacam ini (pungli) justru kita yang kena. Akhirnya, biar bisa lanjut ngirim barang, ya, kita bayar di TKP (tempat kejadian perkara). Kalau enggak, barang enggak kekirim. Repot nanti ujungnya," kata Zaenal.
 
Zaenal  juga memprediksi tingkat kesejahteraan para sopir ekspedisi bakal tergerus jika larangan truk ODOL berlaku. "Barang yang diangkut sedikit. Perusahaan juga bakal nurunin uang jalan," kata pria yang sudah 15 tahun jadi sopir ekpedisi itu. 

Ilustrasi kecelakaan truk ODOL. /Foto Facebook

Dilema jerat hukum truk ODOL

Jerat hukum untuk truk ODOL tertera pada Pasal 277 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Secara singkat, pasal itu memuat ketentuan sanksi pidana dan denda bagi seseorang yang memodifikasi truk angkutan barang yang tidak sesuai ketentuan pemerintah dan diperasikan di dalam negeri. 

Menurut Ketua DPD Asosiasi Karoseri Indonesia (Askarindo) wilayah DKI-Jawa Barat Parluhutan Simanjuntak, pasal itu kerap digunakan untuk menjerat para sopir truk ODOL. Padahal, modifikasi truk lazimnya dilakukan pemilik dan pihak perusahaan ekspedisi. 

"Sebenarnya sopir diperalat sama pemilik. Jadi, tidak tepat jika yang mesti menanggung akibatnya itu adalah sopir. Yang mesti ditindak itu pemilik kendaraan," kata Parluhutan saat dihubungi Alinea.id, Senin (14/3). 

Menurut Parluhutan, karoseri sering diminta pemilik kendaraan untuk mengubah rancang bangun truk menjadi over dimensi untuk kepentingan bisnis. Tak jarang karoseri ikut terseret jika kasus pelanggaran truk over dimensi masuk ke pengadilan.

Namun, Askarindo telah melarang anggotanya melakukan modifikasi truk angkutan barang sejak 2018. Kebijakan itu diberlakukan Askarindo setelah menggelar kerja sama dengan Divisi Korlantas Polri. 

"Tapi, truk over dimensi buatan 2016, 2015, 2014 itu masih banyak dan dihimbau untuk dipotong. Kami siap untuk membantu bila ada yang ingin menormalisasi kendaraannya," kata manajer perusahaan karoseri PT. Leo Indomakmur itu. 

Lebih jauh, Parluhutan setuju jika truk ODOL dilarang beroperasi di jalanan. Ia tak ingin Askarindo terus dipersalahkan karena eksistensi truk ODOL. "Kalau mundur sampai 2025, ya, kita bisa diseret-seret terus," imbuh dia. 

Sekretaris Jenderal Askarindo T.Y Subagyo mengatakan ada sekitar 500 perusahaan karoseri yang beroperasi di Indonesia. Dari angka itu, sebanyak 40% di antaranya sudah bergabung menjadi anggota Askarindo dan dilarang memodifikasi truk angkutan barang. 

"Ada sekitar 60% dari 500 perusahaan karoseri yang sulit kami untuk memonitor. Tapi, untuk anggota kami keras sekali. Bila terbukti melakukan pelanggaran, kami keluarkan dari anggota," kata Subagyo kepada Alinea.id, Senin (13/3).

Subagyo mengatakan tidak tepat jika para sopir jadi kambing hitam regulasi terkait truk ODOL. Menurut dia, kebanyakan sopir ekspedisi tidak terlibat dalam modifikasi truk dan hanya bekerja sesuai arahan pemilik. 

"Over dimensi itu terjadi saat proses antara pemilik kendaraan dan karoseri. Soal overloading, apakah dia (sopir) yang mau terjadi overloading? Belum tentu. Kadang kala dia hanya bawa saja," kata Subagyo.

Ketua Umum Asosiasi Keamanan dan Keselamatan Indonesia untuk Perusahaan Truk dan Logistik (Kamselindo) Kyatmaja Lookman berpendapat larangan operasional truk ODOL dilematis bagi perusahaan logistik dan ekspedisi. Menurut dia, banyak perusahaan terpaksa memodifikasi truk mereka demi menyunat ongkos pengiriman barang. 

"Pengiriman barang itu ada yang hitungannya, berdasarkan berat dan ada yang secara ukuran per meter persegi. Nah, yang berdasarkan ukuran ini kadang yang susah. Biar nutup biaya operasional, yang diangkut sekali banyak. Akhirnya dibuat over dimensi. Kalau enggak begitu, mereka tekor," kata Kyatmaja kepada Alinea.id, Minggu (13/3). 

Menurut Kyatmaja, kebanyakan perusahaan yang punya truk ODOL bergerak di bidang ekspedisi barang mentah. Karena bentuk barang mentah sulit disiasati, perusahaan-perusahaan ekspedisi terpaksa memodifikasi truknya sehingga bisa mengangkut barang-barang mentah tanpa kerusakan. 

"Biasanya truk yang angkut sawit, beras kayu dan barang mentah lainnya. Nah, mereka ini yang sering kena pungli dan tilang karena dia ODOL. Sementara yang membawa barang jadi itu mereka rata-rata kendaraannya bak tertutup, sesuai dengan bobot," jelas Kyatmaja.

Kyatmaja memahami penderitaan para sopir ekspedisi yang bergelut dengan upah yang minim. Namun, ia juga berharap pemerintah memperhatikan persoalan-persoalan yang mesti dihadapi pihak perusahaan saat larangan truk ODOL diberlakukan. 

"Nah, kami itu dilemanya di situ. Di satu sisi, kita selalu diminta untuk terus menekan biaya pengiriman, sementara tiap tahun kebutuhan ongkos tenaga kerja itu naik," ujar pria yang juga menjabat sebagai Direktur Utama PT Lookman Djaja Logistics tersebut. 

Sebagai solusi, Kyatmaja mengusulkan agar pemerintah mengenjot distribusi barang menggunakan moda angkutan laut dan udara. "Kalau mau jalan enggak rusak karena truk ODOL, ya, kapal laut sama kereta api dimaksimalkan. Dulu rencana pengiriman pakai kapal sempat ada, sekarang turun lagi," jelas dia. 

Petugas mengevakuasi salah satu kendaraan yang terlibat pada kecelakaan beruntun di Tol Cipularang KM 92 Purwakarta, Jawa Barat, Senin (2/9/2019). /Foto Antara

Perhatikan kesejahteraan sopir

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno meminta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) turun tangan mengatasi persoalan kesejahteraan para sopir ekspedisi. Menurut dia, eksistensi truk ODOL turut berkelindan dengan minimnya upah para sopir. 

"Kesejahteraan sopir perlu diperhatikan. Mereka itu banyak menanggung beban operasional, termasuk pungli. Urusan pengupahan ini ranah Kementerian Ketenagakerjaan. Mereka jangan diam saja. Perlu ada standar pengupahan yang layak," kata Djoko kepada Alinea.id, Senin (13/3).

Untuk mengurangi keberadaan truk ODOL, Djoko mengusulkan sejumlah solusi. Perusahaan ekspedisi, misalnya, bisa melengkapi para sopir dengan dokumen manifes barang. Dengan begitu, perusahaan bisa mencegah para sopir nakal yang sengaja menggendong muatan tambahan. 

"Jadi, nanti di manifes barang itu tertera ada barang apa saja dan beratnya berapa. Jadi, begitu di jembatan timbang, ketika truk ditimbang beda dengan yang di manifes barang, maka ketahuan siapa yang nakal," kata Djoko.

Solusi lainnya ialah memberantas praktik pungli yang menggerus pendapatan para sopir. Untuk itu, Djoko menyarankan jajaran kepolisian mencontoh langkah Kadiv Propam Polda Jateng yang membuka hotline bagi sopir yang diperas oknum polisi di jalanan.

"Menurut saya, mereka (Polda Jateng) cukup bagus. Bagi yang menemukan polisi-polisi nakal, disuruh lapor. Kalau ada polisi melakukan pungli itu disuruh lapor. Sudah bagus itu," kata Djoko.

Kepada Alinea.id, Kasubdit Penindakan dan Pelanggaran (Dakgar Ditgakkum) Korlantas Polri Kombes I Made Agus Prastya, mengatakan pihaknya tidak akan serta-merta menyasar sopir truk ODOL. Menurut dia, penanganan truk ODOL yang bakal bertumpu pada sistem electronic traffic law enforcement (ETLE) alias tilang elektronik. 

Polri juga bakal mengupayakan upaya restorative justice dalam penanganan kasus pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 277 UU LLAJ. Bukti-bukti yang terkumpul dari ETLE, kata Agus, akan jadi bahan klarifikasi awal kepada pemilik kendaraan. 

"ETLE itu surat konfirmasi kepada pemilik kendaraan. Kami kedepankan tindakan preemtif dan preventif arahkan pemilik kendaraan untuk laksanakan normalisasi," kata Agus. 

Lebih jauh, Agus juga mengimbau agar perusahaan karoseri tidak lagi melayani permintaan perusahaan-perusahaan ekspedisi yang ingin memodifikasi truk mereka demi kepentingan bisnis. "Kami utamakan pada langkah mitigasi atau pencegahan," tegasnya. 

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan