Tunawisma DKI: Diburu Satpol PP, "dijual" Mensos Risma
Sebuah gerobak kayu melintas tak jauh dari kantor Polres Jakarta Pusat, Kemayoran, Kamis (14/1) siang itu. Seorang perempuan tampak tertatih-tatih menarik gerobak itu di bawah terik matahari. Puluhan kardus dan karung berisi botol bekas tertata di dalam gerobak.
"Nangis sih kadang-kadang. Kenapa nasibnya kayak gini? Orang-orang pada bahagia, senang kita lihat. Kita pengin kayak gitu. Mungkin cuma Tuhan yang bisa merubah. Kita nasibnya udah gini," kata Sri Ningsih, perempuan penarik gerobak itu, saat berbincang dengan Alinea.id.
Sri berasal dari Kartosuro, Jawa Timur. Usianya genap tiga puluh tahun. Empat tahun terakhir ia habiskan dengan hidup menggelandang di jalanan ibu kota. Untuk menyambung hidup, Sri mengumpulkan botol dan kardus bekas.
Jika dirata-rata, ia mengaku mendapatkan duit Rp100 ribu selama tiga hari kerja. Sebagian besar duit itu ia kirimkan ke kampung untuk biaya hidup dan pendidikan kelima anaknya.
"Agak susah cari kerja. Asal halal aja. Yang penting anak-anak enggak susah. Kalau saya, biar makan dari mana-mana. Lagipula, anak saya butuh biaya sekolah," kata perempuan bertubuh mungil itu.
Gerobak kayu milik Sri berukuran sekitar 160/60 centimeter. Di dalam gerobak itu, terdapat beberapa potong baju yang digantung di sela-sela perlengkapan mandi. Menjelang petang, Sri biasanya menarik gerobak itu ke pinggiran kali di kawasan Senen, Jakarta Pusat.
Di lokasi itu, Sri berkumpul dengan teman-temannya sesama pemulung. Jika malam tiba, gerobak-gerobak Sri dan rekan-rekannya beralih fungsi jadi tempat tidur. "Pagi-pagi, kita keluar lagi dengan gerobak. Biasanya, kalau siang itu, Satpol PP datang buat razia," jelas Sri.
Selama pandemi, hidup Sri kian sulit. Karena tak mengantongi KTP DKI, Sri tak pernah mendapatkan bantuan sosial dari pemerintah. Belakangan, Sri juga harus "kucing-kucingan" dengan Satpol PP yang masih rutin menggelar razia.
"Enggak ada bantuan. Malahan kebanyakan razia. Bingung kita nyari duit. Udah susah, dibikin susah kadang-kadang. Diangkut atau apalah. Tapi, saya belum pernah kena razia. Teman kita yang kena pada nangis (karena) gerobaknya dibawa," tutur perempuan yang hanya tamatan sekolah dasar itu.
Sri mengaku sudah terbiasa menjalani hidup di bawah bayang-bayang razia Satpol PP. Saat masih jadi pengamen, Sri bahkan pernah diangkut petugas ke Panti Bina Insan Bangun Daya 1, Kedoya, Jakarta Barat, panti yang khusus menampung para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS).
"Saya ditangkap terus dikeluarkan lagi. Kita omong terus terang, 'Kita ngamen, bukan kayak koruptor yang korupsi banyak, tapi enggak ditangkap.' Kita ngamen cari duit seribu-dua ribu. Masa iya ditangkap? Kayak kasus berat aja," katanya.
Hidup di panti, kata Sri, ketika itu tak enak. Selain tidak dibina, ada banyak larangan yang harus dipatuhi penghuni panti. Ia lebih memilih hidup menggelandang di jalanan.
"Kecuali kalau dibina, dikasih arahan, kita mau begitu. Cuma di Kedoya kan kayak dikurung, dipenjara. Kita enggak maulah. Kita manusia, masa kayak binatang, dikurung," cetus dia.
Dijadikan bahan pencitraan?
Sri hanya satu dari ribuan penghuni DKI yang berstatus sebagai PMSK. Keberadaan kaum gelandangan atau tunawisma di DKI kembali jadi polemik setelah Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini blusukan ke sejumlah titik di DKI, awal Januari lalu.
Dalam sebuah foto yang disebar tim Humas Kemensos, Risma terlihat tengah berbincang dengan seorang pria gelandangan di dekat Plaza UOB, Thamrin, Jakarta Pusat. Di foto, pria bertopi dan bermasker itu terlihat duduk di atas karton cokelat di pelataran sebuah ruko.
Foto itu diviralkan akun Twitter @Andhy_SP211. Dalam cuitannya, pemilik akun mengembuskan isu bahwa tunawisma yang ditemui Risma adalah "orang bayaran" dan blusukan Risma sekadar rekayasa. Ia menyebut sang gembel adalah simpatisan PDI-P dan biasanya jualan poster Soekarno.
Dalam serial cuitannya, @Andhy_SP211 @Andhy_SP211 juga mengunggah foto tunawisma yang ditemui Risma sedang makan di restoran. Ada pula tangkapan layar Google Maps yang menunjukkan lapak dagangan sang pria diduga PMKS tersebut.
Terlepas dari sumirnya identitas tunawisma itu, blusukan Risma bikin Pemprov DKI gerah. Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria bahkan mengaku heran Risma berhasil menemukan tunawisma yang sedang menggelandang di kawasan Sudirman-Thamrin.
"Hidup di Jakarta sejak umur empat tahun, saya baru dengar ada tunawisma di Jalan Sudirman Thamrin," kata Ariza, sapaan akrab Riza Patria, kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (6/1), seperti dikutip dari Antara.
Meski begitu, Ariza tidak membantah bahwa masih banyak tunawisma di DKI. Namun, menurut dia, tunawisma DKI kebanyakan "menepi" ke kawasan pinggiran dan tidak berkumpul di jalan-jalan protokol yang terbuka seperti di kawasan Thamrin.
Sebagaimana diungkap Riza, PMKS memang masih menghuni sejumlah lokasi di DKI. Namun, jumlahnya turun jika berbasis data Dinsos DKI. Pada 2020, tercatat ada 4.622 orang yang berstatus PMKS, sedangkan pada 2019 hanya ada 5.959 PMKS. Artinya, ada penurunan sekitar 22%.
Di luar kehebohan akibat blusukannya, Risma menjanjikan bakal memperhatikan kehidupan kaum tunawisma di DKI. Kemensos, kata dia, bahkan sudah punya rencana untuk mendirikan rumah susun bagi tunawisma di lahan Balai Rehabilitasi Sosial eks Gelandangan dan Pengemis (BRSEG) Pangudi Luhur, Bekasi.
Koordinator lapangan penanganan prokes Satpol PP Jakarta Pusat, Iwan Siregar membantah masih adanya PMKS di wilayah protokol seperti Sudirman dan Thamrin. Menurutnya dia, kebanyakan PMKS ditemukan di sekitar Roxy, Jakarta Barat, dan Menteng, Jakarta Pusat.
"Kalau soal yang ditemukan Bu Risma, saya kemarin kurang tahu, ya. Biasanya enggak ada itu sejak zaman Pak Foke (mantan Gubernur Fauzi Bowo). Tapi, kalau manusia gerobak memang dia sering lewat (pada) malam hari. Dia malam kan bermalam dulu. Besok pagi jalan lagi," kata Iwan kepada Alinea.id, Jumat (14/1).
Kepala Satpol PP Jakarta Barat Tamo Sijabat mengungkapkan pihaknya masih rutin menggelar razia PMKS. Selama pandemi, PMKS yang terjaring oleh Satpol PP Jakbar ditempatkan di Gelanggang Olahraga Remaja (GOR) Cengkareng.
"Cuma begitu, paling lama dua atau tiga hari (dibina) kemudian dilepas lagi. Apalagi, panti dari Dinsos kan belum bisa menerima. Takut mereka (PMKS) terkena Covid-19. Dari luar kan statusnya seperti apa, kita enggak tahu," tutur Tamo kepada Alinea.id.
Pembinaan harus komprehensif
Pengamat sosial dan kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Rissalwan Lubis mengatakan penemuan tunawisma di jalan protokol DKI memang terkesan janggal. Menurut dia, kawasan tersebut seharusnya steril dari PMKS.
"Ada dugaan ini sebetulnya setingan karena memang seharusnya enggak ada. Setahu saya, sesuai SOP (standar operational procedure), Satpol PP razia PMKS itu sehari bisa 3-4 kali keliling," kata Rissalwan kepada Alinea.id melalui sambungan telepon, Sabtu (16/1).
Menurut Rissalwan, perhatian Satpol PP terhadap PMKS memang mengendor karena fokus pada mengawasi penegakan protokol kesehatan selama pandemi. Kendati demikian, ia meyakini tak ada PMKS yang berani melintas di wilayah protokol lantaran takut terhadap satpam setempat.
"Jadi ada dua penghalang bagi PMKS di protokol. Selain Satpol PP, mereka pasti diusir sama satpam. Mungkin dia ada di belakang (perkantoran), ya. Tapi, kasus Bu Risma kan dia ada di depan. Masa dia ada di depan. Itu enggak mungkin," kata dia.
Terlepas dari polemik blusukan Risma, Rissalwan menilai selama ini penanganan PMKS di DKI masih setengah hati. Secara khusus, ia mengkritik kegiatan rutin mengangkut PMKS di jalanan ke panti sosial tanpa disertai pembinaan yang komprehensif.
"Kesulitan mereka kan (kalau dibawa ke panti sosial) berarti memindahkan pola hidup. Jadi, bukan hanya memindahkan mereka dari satu ke tempat lain, tapi cara mereka memandang kehidupan. Ini yang sulit," jelas dia.
Rissalwan menjelaskan, penanganan persoalan PMKS harus menyeluruh dan diawali proses analisis yang panjang. Salah satu yang harus digali petugas ialah penyebab seseorang memilih hidup di jalan. Hasil analisis itulah yang jadi dasar untuk menangani persoalan PMKS.
"Jangan dipikir PMKS ini enggak bisa berpikir. Mereka adalah manusia. Jadi, cara berpikirnya itu yang utama. Bukan di mana mereka tinggalnya. Mereka akan berubah kalau cara pikir mereka kita perbaiki dulu. Jadi, program rehabilitasinya harus betul-betul melihat akar masalahnya," kata dia.
Lebih jauh, Rissalwan juga pesimistis rumah susun bagi tunawisma bakal jadi solusi persoalan. Berkaca dari penanganan pekerja seks komersial (PSK) di Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Pasar Rebo, Jakarta Timur milik Dinsos DKI, Rissalwan mendapati banyak PSK kerap dilepaskan petugas karena tidak betah di dalam panti.
"Coba bayangkan! WTS (wanita tuna susila) itu enggak perlu punya modal. Mungkin cuma bedak dan minyak wangi. Hasilnya bisa dapat Rp200 ribu semalam. Kalau mereka diajarkan menjahit, hasilnya dalam satu minggu mungkin hanya Rp50 ribu. Nah, kalau mereka tidak diajarkan rasa malu dan dosa, itu enggak kena (dibina)," kata dia.