Direktur Komite Pemberhentian Bensin Bertimbel (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan kendaraan bermotor merupakan penyumbang terbesar pencemaran udara di Jakarta. Udara di Jakarta saat ini dalam status tidak sehat.
Berdasarkan catatan KPBB, Indeks Kualitas Udara (AQI) dari 1 Januari hingga 23 Juli 2019 rata-rata konsentrasi partikularnya mencapai 45,41 ug/m3, dan angka tertinggi bisa sampai 155 ug/m3. Angka konsentrasi partikular tersebut lebih tinggi dari standar Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang berada di angka 10 ug/m3.
Sepanjang 2018, kendaraan bermotor di Jakarta juga menghasilkan sulfur oksida (SOx) sebesar 72%, karbon monoksida (CO) 84% dan nitrogen oksida (NOx) 85%. “Jadi, kemarin atlet-atlet yang bertanding waktu Asian Games 2018, mereka bertanding dengan keadaan udara yang tercemar,” kata Safrudin dalam sebuah jumpa pers di Jakarta pada Rabu (24/7).
Safrudin mengatakan, konsentrasi partikular di Jakarta rata-rata sebesar 2,5 mikrometer. Partikular ini dianggap berbahaya karena memiliki ukuran sangat kecil, sehingga bisa luput dari masker dan bulu hidung.
Dari catatan KPBB, pada 2016 warga Jakarta yang terpapar penyakit akibat pencemaran udara angkanya sebesar 58,3%. Karena pencemaran udara itu, biaya kesehatan yang dikeluarkan warga DKI Jakarta untuk penyembuhan penyakit totalnya mencapai triliunan rupiah.
Menurut Safrudin, bahan bakar minyak jenis premium yang memiliki RON 88, pertalite 90, solar 48 dan pertadex 53 harus segera dihentikan penggunaannya. Sebab, dampaknya buruk bagi lingkungan.
Sebagai gantinya, warga harus beralih menggunakan bahan bakar gas di antaranya gas alam terkompresi (CNG), gas alam cair (LNG), dan Liquified Gas for Vehicle (LGV).
“Atau mengadopsi kendaraan berstandar Euro 4, sehingga udara Jakarta bisa lebih bersih,” ucap Safrudin.
Safrudin menilai peraturan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengenai angkutan umum dan kendaraan operasional pemerintah daerah wajib menggunakan bahan bakar gas harus segera diralisasikan demi mengurangi pencemaran udara di Jakarta.
Kemudian, kata Safrudin, cara lain yang relevan dengan menerapkan teknologi jalan berbayar elektronik dan kenaikan tarif parkir. Kebijakan tersebut dapat membuat masyarakat berpikir ulang jika ingin menggunakan kendaraan pribadi.
“Orang beli mobil banyak-banyak tidak masalah, tapi penggunaannya yang dibatasi,” ucap Safrudin.