Dongkol para pemilik kendaraan tua: "Uji emisi bikin susah rakyat kecil..."
Menyaksikan belasan petugas berompi hijau sedang menertibkan para pesepeda motor "nakal" di sebuah persimpangan di Jalan Daan Mogot, Cengkareng, Jakarta Barat, Wawan Setiawan langsung putar arah. Menunggangi motor bebek tua, Wawan sadar ia tak mungkin lolos dari sergapan polisi lalu lintas.
"Ada yang pakai motor kayak saya diberhentiin. 'Lho, kenapa?' saya pikir. Saya baru ngeh kalau ternyata harus uji emisi. Ya, sudah. Begitu saya lihat ada persimpangan, saya belok kanan saja," ucap Wawan kepada Alinea.id, Senin (4/9).
Pagi itu, Wawan dalam perjalanan ke Pasar Cengkareng untuk berjualan ayam. Seperti biasanya, ia memakai Yamaha F1ZR keluaran 2005. Knalpot motor itu berasap tebal.
"Ketimbang urusan sama polisi. Ujung-ujungnya uang nanti. Males saya, mending balik aja ganti motor," ujar pria yang tinggal di kawasan Poris Tangerang, Banten, itu.
Di rumahnya, Wawan punya satu motor lainnya yang jauh lebih muda. Untuk sementara waktu, ia mengaku bakal memakai motor itu. "Untuk ke pasar saya sebenarnya lebih suka pakai motor yang jelek karena motornya juga buat kotor-kotoran," ujar Wawan.
Dipicu buruknya kualitas udara di Jakarta, pemerintah mulai aktif memberlakukan Peraturan Gubernur DKI no 66 tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor, belum lama ini. Secara umum, beleid itu mewajibkan setiap pemilik kendaraan bermotor mengantongi sertifikat lulus uji emisi.
Sejumlah sanksi disiapkan bagi pemilik kendaraan yang nekat wara-wiri tanpa sertifikat tersebut. Bagi pemilik kendaraan roda dua, tilang dan denda sebesar Rp250 ribu. Bagi pengemudi mobil, denda sebesar Rp500 ribu.
Yanto, seorang pedagang sayur yang sehari-hari melapak di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, mengaku sudah mendengar kabar mengenai pemberlakuan aturan uji emisi itu. Meski begitu, pemilik Honda Kharisma rilisan 2006 itu tak mau ambil pusing.
Kepada Alinea.id, ia bercerita pernah diberhentikan polisi lalu-lintas dalam salah satu kegiatan razia. Ia diperingatkan supaya segera memasukkan motornya ke salah satu lokasi uji emisi yang tersebar di seantero Jakarta.
"Nanti kapan-kapan aja kalau sempet. Ini mah karena polisi lagi tinggi aja. Tapi, setiap dua bulan sekali, motor Kharisma ini saya servis kok," ujar Yanto.
Meski sudah uzur, Yanto lebih suka memakai bebek itu ketimbang motor lainnya. Ia merasa rugi jika harus menggunakan motor bagus untuk sekadar mengangkut sayur. "Kalau motor baru, bawaannya takut rusak dan hilang," kata Yanto.
Diki Wahyudi, 35 tahun, punya strategi yang berbeda. Untuk sementara waktu, ia berencana mengistirahatkan motor Suzuki Satria tua miliknya. Motor itu hanya bakal dikeluarkan sesekali pada malam hari.
"Kalau mau nongkrong sama teman-teman aja. Kalau pagi mah, jangan. Buat manasin mesin aja," ujar warga Batu Ceper, Tangerang itu saat berbincang dengan Alinea.id, beberapa waktu lalu.
Diki mengaku tak berniat membawa motornya ke lokasi uji emisi. Bermesin 2-tak, ia pesimistis motornya lolos uji emisi. Ia yakin razia polisi juga bakal mereda setelah kualitas udara ibu kota membaik. "Jadi, ya, biarin aja. Kalau kena polisi, ya udah, tilang aja," ucap Diki.
Bikin susah?
Kewajiban uji emisi juga membuat para pemilik mobil tua gamang. Agus salah satunya, seorang anggota Komunitas Kijang Super Indonesia (KKSI). Ia adalah pemilik Kijang Super keluaran 1987.
Sejak razia emisi kendaraan rutin digelar, Agus bercerita mobilnya hanya diparkir di rumahnya di Depok, Jawa Barat. Ia tak berani membawa mobil kesayangannya itu mengaspal di jalanan-jalanan Jakarta.
"Kami (Agus dan rekan-rekannya KKSI) juga belum melakukan itu (uji emisi). Masalahnya, mungkin waktu yang terbatas dan takut enggak lulus uji emisi," ucap Agus kepada Alinea.id, Selasa (5/9).
Selain yang diparkir di Depok, Agus juga punya satu kendaraan tua lainnya yang disimpan di kawasan Meruya, Jakarta Barat. Selain karena hobi, Agus berkata kendaraan-kendaraan tua miliknya juga kerap digunakan untuk bekerja.
"Hampir semua (anggota komunitas) bilang kebijakan ini bikin susah rakyat kecil aja. Mobil tua yang masih dipakai buat angkut-angkut itu yang punya orang kecil. Jadi, ya, ini risiko aturan. Akhirnya, nyusahin yang kecil," ucap Agus.
Meski terganjal aturan uji emisi, Agus berkukuh tak akan menjual atau membiarkan kendaraan tua miliknya usang dan terpakai. Bagi Agus, mobil-mobil tuanya itu lebih dari sekadar alat transportasi. Ia berharap ketentuan uji emisi dilonggarkan.
"Melalui kijang super tua ini kami membangun komunitas dan sudah berjalan tiga tahun belakangan," imbuhnya.
Cerita serupa diungkap Samuel, pemilik mobil klasik Toyota Corona 1975. Seperti Agus, mobil tua Samuel juga kini hanya nongkrong di bengkel sobatnya di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten.
"Mobil usia tua begini sepertinya enggak lolos uji emisi. Jadi, saya diemin aja sementara. Keluar juga paling malam," kata Samuel kepada Alinea.id, Selasa (5/9).
Tak semua merugi. Hary, pengoleksi mobil klasik dan pemilik Garasi Truntung di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, justru menangguk untung karena pemberlakuan regulasi uji emisi di Jakarta. Belakangan, ia kebanjiran permintaan reparasi dan penitipan mobil klasik, khususnya dari warga Jakarta dan Bekasi.
"Jadi, memang pemilik mobil klasik di Bogor, termasuk saya juga, sementara ini enggak ke Jakarta dulu selagi uji emisi ini masih menjadi perhatian," kata Hary kepada Alinea.id, Selasa (5/9).
Di Garasi Truntung, kebanyakan mobil tua yang dititipkan ialah Suzuki ST20 bermesin dua tak. Harry menyebut mobil jenis itu mustahil lolos uji emisi. Apalagi, pemerintah telah menetapkan mobil yang diuji emisi hanya yang dibuat di atas 2007.
Lebih jauh, Harry juga turut menyesalkan regulasi itu diberlakukan secara ketat. Dia beranggapan kebijakan uji emisi sangat membatasi ruang gerak pemilik mobil klasik. Tak hanya untuk angkutan pribadi, mobil klasik atau tua juga kerap digunakan untuk keperluan bisnis dan usaha.
Tak semata soal penurunan polusi udara, Harry menduga ada kepentingan lain yang menyertai ketatnya pemberlakuan uji emisi. "Sehingga uji emisi ini arahnya (mungkin) soal pergeseran ke mobil listrik. Kami tahu itu," imbuh dia.
Meski tak bisa mengaspal di ibu kota, Harry mengaku akan terus mengoleksi dan merawat mobil-mobil tua miliknya. "Ya, kalau enggak bisa dipakai jauh ya dipakai sekitar rumah saja buat keliling. Tapi, sejauh ini di Cibinong belum ada razia atau tilang mobil yang gagal uji emisi seperti di Jakarta," kata dia.
Tidak adil
Pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat memandang kebijakan sertifikasi uji emisi bagi pengendara menunjukkan panggung ketidakadilan. Ia menyebut sasaran uji emisi kebanyakan orang-orang kecil yang kontribusinya terhadap polusi udara Jakarta tergolong minim.
"Sementara pemilik truk, kontainer, dan pemilik proyek konstruksi serta infrastruktur pemda, yang memiliki kontribusi signifikan terhadap polusi udara, seolah mendapatkan perlindungan dan terhindar dari tindakan tegas. Inilah yang kita sebut ketidakseimbangan," ujar Achmad dalam siaran pers yang diterima Alinea.id, belum lama ini.
Secara khusus, Achmad menyoroti kasus Dody, seorang warga yang kena tilang usai sukarela menjalani uji emisi di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, awal September lalu. Menurut dia, kasus tersebut menunjukkan implementasi kebijakan uji emisi di lapangan masih serampangan.
"Bukan hanya masalah kendaraan, konstruksi di Jakarta yang kerap menghasilkan debu dan emisi lainnya juga tampaknya mendapat perlakuan khusus. Seharusnya, sebelum menilang warga biasa dengan denda besar, pemerintah memastikan bahwa mereka yang benar-benar menjadi sumber utama polusi udara mendapatkan hukuman yang setimpal," ujar CEO Narasi Institute itu.