Majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengoreksi keterangan Pemerintah Indonesia dalam persidangan Uji Formil Perppu Cipta Kerja Menjadi UU terkait sebuah frasa ‘persidangan berikut’. Persidangan dilakukan di Gedung MK, Kamis (6/7).
Koreksi disampaikan awal oleh hakim MK Enny Nurbaningsih terkait penjelasan soal Pasal 52 ayat 1 dari Undang-Undang P3 memiliki kaitan dengan frasa ‘persidangan berikutnya’ dalam keterangan presiden, harus diuraikan lebih mendalam. Sebab, pasal ini masuk dalam dalil yang diajukan oleh pemohon dan dipertebal dalam keterangan pemerintah.
“Apakah kemudian ada penyimpangan Pasal 52 ayat 1 dari Undang-undang P3 itu?” katanya di MK, Kamis (6/7).
Selain Enny, Hakim Konstitusi lainnya Daniel Yusmic P Foekh juga mencatat kekurangan dalam risalah pemerintah di persidangan ini. Salah satunya terkait ‘persidangan berikutnya’. Dianggap ada penafsiran baru dari pemerintah.
Lantaran, di dalam Pasal 22 ayat 2 itu menyatakan, peraturan pemerintah harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam ‘persidangan yang berikut’.
“Tetapi dalam uraian ini tampak ada penafsiran baru. Menurut saya, ini coba diberikan keterangan supaya tidak menimbulkan multitafsir,” katanya dalam kesempatan serupa.
Pun demikian dengan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah yang turut mengkritisi kembali frasa ‘persidangan berikut’. Ia menemukan pada Pasal 22 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 ada kaitannya harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang P3 yang menyinggung bahwa persidangan berikut adalah masa persidangan DPR. Sayangnya, pemerintah menyampaikan tidak dapat menjelaskan secara tegas (rigid).
“Tidak dapat ditafsirkan secara rigid, wah saya ndak ngerti ini maksudnya apa ini. Padahal ini ketentuan konstitusi ya harus rigid,” ucapnya.
Tidak ketinggalan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams merasa pemerintah tidak cermat dalam perumusan keterangannya. Pada risalah pemerintah tertera bahwa praktik kenegaran dalam ketetapan Perppu dapat mengacu pada penetapan Perppu No. 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi..
Pada penetapan perppu itu tidak dilakukan pada persidangan berikutnya atau masa sidang terdekat. Hal inilah yang kemudian dianggap keliru.
Ia menjelaskan, pada penetapan perppu itu hingga menjadi undang-undang bukan berlandaskan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 melainkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004. Sebab, penjelasan mengenai ‘persidangan berikut’ adalah masa persidangan DPR dengan salah satu kondisi yakni masa reses seperti pada Pasal 25 Ayat 1.
“Jadi bunyi penjelasan yang di 52 di Undang-Undang 12/2011 tidak sama sementara dijadikan dalil yang sama,” katanya menegaskan.