Unas membara: Saat aksi mahasiswa berujung kriminalisasi dan DO
Sudah lebih dari sepekan koordinator gerakan Unas Gawat Darurat (UGD) Deodatus Sunda Se tak bisa tidur nyenyak. Pemuda asal Nusa Tenggara Timur (NTT) itu masih gusar lantaran tak bisa lagi melanjutkan kuliahnya yang hanya tinggal beberapa semester di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional (FISIP Unas).
Pekan lalu, Deodatus dikenakan sanksi akademik oleh pihak rektorat Unas. Ia dipecat sebagai mahasiswa lantaran mengoordinasi serangkaian aksi unjuk rasa menuntut pemotongan uang kuliah di tengah pandemi Covid-19.
"Kampus tidak memberikan surat peringatan terlebih dahulu dan langsung men-drop out (DO) saya," ujar pria berusia 24 tahun itu saat berbincang dengan Alinea.id, Sabtu (11/7) lalu.
Aksi yang digalang Deodatus dan rekan-rekannya digelar pada 10-11 Juni di lingkungan kampus Unas, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Peserta aksi umumnya menuntut pemotongan biaya kuliah sebesar 50-65% karena kondisi perekonomian keluarga mereka sedang terpuruk.
Dalam aksi tersebut, Deodatus cs sempat meminta audiensi dengan pihak kampus. Alih-alih menanggapi tuntutan mahasiswa, menurut Deodatus, pihak kampus malah mengerahkan petugas keamanan dan preman bayaran untuk membubarkan demonstrasi.
"Birokrasi itu menabrak mahasiswa. Kami lagi border lalu dipaksa keluar gerbang. Akhirnya, kawan-kawan kesal dan memukul mobil karena awalnya janji audiensi, tapi enggak mau. Tapi, mereka keluar kampus dan langsung tabrak massa aksi," ujar Deodatus.
Karena peristiwa tersebut, menurut Deodatus, salah seorang peserta aksi akhirnya dilaporkan ke polisi oleh pihak kampus. "Dia dituduh melakukan kekerasan. Dia kena Pasal 170 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)," terang Deodatus.
Aku berbicara atas penderitaan ku, aku menawarkan jalan keluar atas penderitaan ku, dan aku hanya mampu bersuara karena tidak memiliki alat apapun untuk merubah kuasa. Langkah ku untuk perubahan dibatasi dibenturi dan dicoba dibui#UNASGAWATDARURAT pic.twitter.com/rNfkqRVGbx
— UNAS GAWAT DARURAT (UGD) (@UgdUnas) June 29, 2020
Tak hanya berhenti di situ, menurut Deodatus, aksi unjuk rasa tersebut juga berujung pada pemanggilan 37 mahasiswa. Tiga mahasiswa di-DO dan dua lainnya diskors selama enam bulan. Sebanyak tujuh mahasiswa peserta aksi juga mendapat peringatan keras dari rektorat perguruan tinggi swasta tertua di Jakarta itu.
Selain Deodatus, sanksi DO juga dialamatkan kepada Wahyu Krisna Aji dan Abia Indou. Keduanya juga sama-sama berkuliah di FISIP Unas. "Saya di-DO berdasarkan surat keputusan Dekan FISIP Unas pada 7 Juli. Pada 9 Juli, kami terima surat itu," ungkap Deodatus.
Salah satu alasan pemecatan yang diklaim pihak rektorat, kata Deodatus, ialah tudingan menyebarkan berita bohong dan ujaran kebencian. "Soal #Unasgawatdarurat yang di mana sebenarnya menuntut pemotongan kuliah karena pandemi. Terus meminta kampus juga transparansi," imbuh dia.
Berjuang melawan segala bentuk penindasan diruang akademik!! #CabutSkDOKrisna pic.twitter.com/ZWPjA2cKWR
— FMN Ranting Unas (@FmnUnas) July 12, 2020
Dalam sebuah video yang diunggah di akun @ugdUnas, Wahyu--yang masih tercatat sebagai Ketua Forum Mahasiswa Nasional (FMN) Unas--mengatakan bakal terus memperjuangkan tuntutan mahasiswa dan meminta pihak rektorat mencabut SK DO terhadap dia dan rekan-rekannya.
"Saya menyerukan kepada mahasiswa Unas serta mahasiswa di seluruh Indonesia untuk bersatu melawan fasisme di ranah perguruan tinggi. Saya juga mendesak pihak dekan dan rektor untuk mencabut SK drop out, SK skorsing dan juga peringatan keras kepada mahasiswa yang berjuang," kata Wahyu.
Rektorat membantah DO karena aksi unjuk rasa
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unas Zainul Djumadin mengatakan sanksi DO terhadap Deodatus dan rekan-rekannya tidak berkaitan dengan aksi unjuk rasa yang mereka galang. Menurut dia, keduanya di-DO lantaran melanggar norma kampus.
"Mahasiswa-mahasiswa itu sudah menyebarkan berita hoaks terhadap Unas. Dikatakan, Unas bangkrut, minta potongan uang kuliah 50%, dan menulis di Twitter supaya orangtua berpikir lagi (jika mau) memasukkan anaknya kuliah di Unas," kata dia kepada Alinea.id, Rabu (15/7).
Zainul mengatakan pihak rektorat sempat memanggil sejumlah mahasiswa untuk mengklarifikasi unggahan-unggahan mereka di media sosial. Namun, menurut dia, tiga mahasiswa yang di-DO tidak mau hadir saat dipanggil.
"Mereka ini sudah pernah mendapatkan peringatan. Mereka terang-terangan merobek jaket almamater dengan sikap menantang siap dipecat, menulis Unas bangkrut, dosen dan karyawan tidak digaji, menghasut orangtua," kata Zainul.
Menurut Zainul, Wahyu sebenarnya datang bersama orangtuanya saat dipanggil pihak rektorat. Setelah dialog, Wahyu kemudian diminta tim komisi disiplin dari Unas untuk menandatangani sebuah surat pernyataan.
"Tanda tangan surat pernyataan agar tidak mengulangi lagi. Orangtuanya (sebenarnya) mau tanda tangan. (Tapi), dilarang sama Wahyu dan yang bersangkutan juga tidak mau tanda tangan. Orangtua Wahyu mengatakan, 'Saya sudah tidak sanggup mendidik anak saya. Apalagi, Unas'," tutur Zainul.
Adapun menyoal dengan tuntutan pemotongan biaya kuliah, Zainul mengatakan, Unas belum bisa menyetujui "nilai" yang diminta mahasiswa. Ia menambahkan, Unas berupaya meringankan beban mahasiswa dengan pemberian subsidi pulsa sebesar Rp100-150 ribu.
"Itu merupakan bentuk perhatian Unas kepada mahasiswa. Waktu kami memberikan (subsidi pulsa) belum ada perguruan tinggi yang memberikan itu," kata Zainul.
Pernyataan Zainul itu berbeda dengan rilis kronologi yang dikeluarkan FMN Unas. Dalam rilis tersebut, FMN menyatakan bahwa mahasiswa yang dipanggil tidak diberi kesempatan mengklarifikasi dan dipaksa untuk mengaku bersalah karena terlibat dalam kampanye di media sosial.
Para mahasiswa yang terlibat dalam aliansi UGD Unas juga dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bersalah. Jika tidak bersedia menandatanganinya, mereka diancam dengan UU ITE dan dikeluarkan dari kampus.
Rektorat dianggap feodal
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Jeanny Silvia Sari Sirait mengecam langkah Unas memecat mahasiswa yang terlibat dalam aliansi UGD. Menurut dia, langkah mahasiswa menuntut transparansi kampus terkait uang kuliah sudah tepat.
"Teman-teman sudah menyurati dan coba audiensi berkali-kali. Tapi tetap enggak dikasih sama pihak kampus. Teman-teman melakukan aksi di depan sejak pagi, tapi malah mendapat tindakan represif pihak keamanan kampus, baik yang seragam maupun yang tidak berseragam," ujar Jeanny kepada Alinea.id, Rabu (15/7).
Menurut Jeanny, konflik antara mahasiswa dan kampus tidak akan membesar seandainya pihak kampus mau terbuka. Apalagi, tuntutan mahasiswa mengenai transparansi kampus sudah sesuai dengan isi Pasal 48 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
"Di mana pengelolaan pendidikan itu harus berdasarkan pada prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik. Itu mandat dari UU Sisdiknas. Harusnya ini dijalankan oleh pihak kampus," ujar Jeanny.
Lebih jauh, Jeanny juga mempersoalkan kriminalisasi mahasiswa karena diduga merusak mobil seorang dosen pada aksi 11 Juni lalu. Menurut dia, mahasiswa hanya bersikap reaktif saat hendak ditabrak oleh mobil tersebut. "Itu sense untuk melindungi diri," ujarnya.
#UNASGAWATDARURAT pic.twitter.com/oide21WUZQ
— UNAS GAWAT DARURAT (UGD) (@UgdUnas) June 13, 2020
Jeanny juga menganggap pemecatan mahasiswa dilakukan rektorat secara sepihak dan tidak sesuai dengan kenyataan. Apalagi, dalam SK DO, dinyatakan bahwa mahasiswa bersangkutan dipecat karena tidak bersedia menghapus unggahan di media sosial.
"Sudah dipanggil, tapi tidak patuh, tidak memiliki itikad baik dan tidak bersedia menandatangani atau meminta maaf terhadap pihak kampus. Itu kan jadi kayak feodal banget kampus," ucap Jeanny.
Perlakuan yang sama juga diterima mahasiswa yang kena skorsing. Meski telah meminta maaf kepada kampus, menurut Jeanny, mereka tetap dihukum lantaran tidak mau menghapus unggahan. "Dalam hal ini, Unas menunjukkan sikap kampus yang otoriter," kata dia.
Jeanny menuntut agar Unas menghentikan kriminalisasi kepada para mahasiswa dan mencabut sanksi-sanksi otoriter yang mereka keluarkan. Apalagi, hingga kini pihak kampus terkesan masih represif.
Dalam aksi unjuk rasa yang kembali digelar di Unas, Selasa (14/7) lalu, kekerasan juga menimpa sejumlah mahasiswa peserta aksi. "Ada yang dipukulin. Ini bahkan lebih keras dari aksi 11 Juni sebab sampai mahasiswa di-sweeping," ungkap Jeanny.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nizam menyayangkan ada mahasiswa yang di-DO dalam konflik di Unas. Menurut dia, sanksi akademik semacam itu seharusnya tidak perlu dikeluarkan.
"Mestinya setiap masalah dapat dicari solusi terbaik yang dapat dilakukan. Perlu dibangun komunikasi yang baik antara pimpinan PT dan mahasiswa. Bersama-sama mencari solusi," ujar Nizam saat dihubungi Alinea.id, Rabu (15/7) lalu.
Meskipun sanksi pemecatan merupakan wewenang tiap perguruan tinggi, Nizam mengatakan, para petinggi kampus tidak boleh bersikap otoriter dan sewenang-wenang.
"Mahasiswa dapat di-DO karena alasan akademik atau pelanggaran norma yang diatur oleh masing-masing PT. Tapi, pendidikan tinggi adalah lembaga pendidikan sehingga sanksi untuk mahasiswa haruslah bersifat mendidik," kata dia.
Lebih jauh, Nizam mengatakan, ia juga sudah memerintahkan Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah III DKI Jakarta untuk turun tangan menengahi konflik di Unas. "Untuk memediasi dan menyelesaikan masalahnya. Semoga segera dapat diatasi," ujar Nizam.