Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta mengapreasi Kejaksaan Agung perihal kasus korupsi dalam pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) di Kementerian Perdagangan. Menurutnya, pengungkapan kasus ini menunjukkan penegak hukum memiliki sensitivitas yang terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Wayan berpendapat, seperti inilah seharusnya penegakan hukum dipraktikan. Dia menegaskan, potensi kejahatan akan selalu ada di balik kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Untuk itu kejelian, sensitivitas, empati terhadap kesulitan masyarkat luas harus juga menjadi pegangan bagi penegak hukum, baik di Kejaksaan Agung, Polri, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Nilai keadilan, dan kemanfaatan hukum harus selalu didahulukan dari pada nilai kepastian hukum itu sendiri. Mafia minyak goreng bukan hanya bertentangan dengan nilai kepastian hukum, tetapi juga mengingkari nilai-nilai kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat," kata Wayan dalam keterangannya, Kamis (21/4).
Wayan menaruh harapan besar bagi Kejaksaan agar terus berdiri di depan kepentingan masyarakat luas dalam melakukan penegakan hukum. Dia mendorong Kejagung menggunakan ketentuan pidana korupsi kepada pelaku mafia minyak goreng. Menurutnya, mafia minyak goreng sudah masuk kategori perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, merugikan keuangan negara, juga merugikan perekonomian nasional.
"Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi. Perbuatan para mafia minyak goreng ini malah secara nyata telah merugikan perekonomian nasional bahkan sampai pada kerugian pada tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat," tegas pengacara senior yang juga mantan aktivis LBH Jakarta ini.
Dia mengatakan, masyarakat telah dirugikan atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng dipasaran sejak awal tahun. Besarnya kebutuhan pasar dalam negeri atas ketersediaan minyak goreng sangat berpotensi mafia minyak goreng tidak hanya dimainkan oleh pihak yang sudah dijadikan tersangka oleh Kejagung saat ini.
Untuk itu, Wayan juga mendorong Kejagung dapat menyasar pihak-pihak lain yang memiliki potensi tinggi terlibat dalam kegiatan mafia minyak goreng ini.
"Saya percaya Kejaksaan Agung tidak akan berhenti sampai dititik ini. Dengan kehebatan sumber daya manusia ditambah dengan modal kewenangan baru dalam UU Kejaksaan yang telah dirubah belum lama ini, saya mendorong dan menaruh harapan besar Kejaksaan Agung dapat menyasar pihak-pihak lain yang turut bermain sebagai mafia minyak goreng ini," ungkapnya.
Kejagung telah menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan (Dirjen Perdaglu) Indrasari Wisnu Wardhana (IWW) sebagai tersangka penyebab kelangkaan minyak goreng.
Selain Indrasari, Kejagung juga mentapkan tiga orang tersangka lainnya dari pihak swasta. Mereka disebut terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) pada Selasa (19/4) kemarin.
Mereka ialah Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley MA (SMA); Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor (MPT); serta Picare Togar Sitanggang (PT) selaku General Manager bagian General Affairs PT Musim Mas.
Kasus ini melibatkan Indrasari karena yang bersangkutan telah menerbitkan persetujuan ekspor terkait komoditas CPO dan produk turunannya kepada Permata Hijau Group, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, serta PT Musim Mas.
Perkara ini berawal dari adanya kelangkaan minyak goreng pada akhir 2021 hingga menyebabkan naiknya harga minyak goreng. Kemudian, pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya.
Selain itu, Kemendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit. Dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah.
Para tersangka itu diduga melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, b, e, dan f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.