Untuk apa dan siapa wacana klasifikasi SIM C?
Seorang anggota D’Raptors Brothers—sebuah komunitas sepeda motor gede (moge) di Jakarta—Amar Albanna mengaku, belum mengetahui perihal aturan klasifikasi surat izin mengemudi (SIM) C. Sama seperti anggota komunitasnya, ia mengatakan, hanya memperoleh informasi sekilas tentang rencana itu pada 2019, ketika ada kegiatan pertemuan antaranggota komunitas.
Saat itu, sejumlah personel kepolisian dari Polda Metro Jaya menyampaikan pesan keamanan berkendara. Namun, pihak kepolisian tak menjelaskan secara spesifik tentang klasifikasi SIM C.
“Kami belum dapat info resmi dari Polri,” kata Amar saat dihubungi reporter Alinea.id, Sabtu (5/12).
Bakal menyulitkan pengendara moge?
Rencana klasifikasi SIM C sudah ada sejak awal 2016. Ketika itu, terbit Surat Pembaruan bernomor ST/2653/XII/2015. Ada dua keputusan dalam surat itu, yakni terkait klasifikasi SIM C dan batas waktu perpanganan SIM. Pembagian surat izin untuk kendaraan roda dua juga sudah ada dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 9 Tahun 2012 tentang Surat Izin Mengemudi.
Di dalam Pasal 7 huruf d Perkap 9/2020 disebutkan, SIM C yang berlaku untuk pengemudi sepeda motor terdiri dari SIM C untuk sepeda motor kapasitas silinder (cylinder capacity/CC) paling tinggi 250, SIM C I untuk sepeda motor dengan kapasitas silinder 250 hingga 750, dan SIM C II untuk sepeda motor kapasitas silinder di atas 750.
Lalu, pada 2016 terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kepolisian Indonesia. Di dalam beleid itu disebutkan, penerbitan SIM C, SIM C I, dan SIM C II dikenakan biaya Rp100.000. Lalu, perpanjangan tiga jenis SIM C itu tarifnya Rp75.000.
Amar berpendapat, jika aturan itu diterapkan, bakal menyulitkan pengendara sepeda motor gede dalam mendapatkan SIM C. Ia menilai, ujian SIM C I dan C II mengggunakan sepeda motor berkapasitas silinder mesin besar akan menyusahkan orang untuk lulus.
“Kami pernah lakukan test riding. Dengan jalur zig-zag, pasti sudah lulus. Naik sepeda motor matik saja susah, apalagi pakai motor yang gede,” kata Amar.
Ujung-ujungnya, kata dia, kemungkinan besar pengendara sepeda motor besar memilih “jalur tembak” dengan ongkos lebih besar. “Jadi ribet. Pikiran kami, aturan ini malah membuat ditarikin duit lebih,” ujarnya.
Amar juga menilai, aturan itu akan membuatnya kerepotan bila harus memiliki berbagai macam kartu SIM C. Sebab, di rumahnya, ia mengoleksi bermacam sepeda motor, mulai dari 250 CC hingga di atas 1.000 CC.
Amar pun menolak anggapan bahwa aturan itu adalah upaya mengatur ketertiban pengendara moge di jalanan. Menurut dia, tak semua pengendara moge ugal-ugalan dan seenaknya. Meski memang mengendarai motor besar harus dilakukan dalam kecepatan tinggi.
“Moge ini memang enggak bisa dibawa pelan. Harus dibawa kencang sesuai dengan CC-nya. Karena kalau pelan, mesinnya akan overheat (cepat panas),” tuturnya.
Namun, ia mengatakan, bila aturan itu membawa manfaat, maka ia akan mematuhinya. Ia juga berharap, pihak kepolisian dapat menyosialisasikan klasifikasi SIM C secara jelas.
“Sebenarnya kami welcome saja,” katanya.
Walau demikian, hingga kini Polri memang belum menerapkan aturan itu. Kasubdit SIM Direktur Regident Korlantas Polri Kombes Jati Utomo mengungkapkan, masih perlu merevisi Perkap 9/2012.
Selain merevisi Perkap 9/2020, Jati mengatakan, tengah direvisi pula aturan sistem uji kelaikan kepemilikan SIM C berdasarkan golongan. Akan tetapi, ia tak bisa menjelaskan seperti apa rencana awal sistem uji kelaikan yang sebelumnya sudah dirancang. Dalam menyiapkan realisasi aturan itu, Jati pun mengatakan, sedang direncanakan daerah atau provinsi mana saja yang akan menjadi lokasi uji coba.
“Akan ada sosialisasi yang masif dan merata apabila semuanya sudah siap dijalankan,” tutur Jati saat dihubungi, Jumat (4/12).
Lebih jauh, menurut Jati, penertiban pengendara moge yang dianggap “raja jalanan” bukan tujuan wacana klasifikasi SIM C. Menurut dia, penggolongan SIM C itu semata-mata untuk menyesuaikan kemampuan pengemudi dengan kapsitas silinder mesin kendaraan roda dua mereka.
Tujuan klasifikasi SIM C
Dihubungi terpisah, komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Pudji Hartanto Iskandar mengatakan, maksud penggolangan SIM C merupakan syarat surat mengemudi mendasar bagi pengendara sepeda motor ber-CC tinggi. Ia menjelaskan, ada sistem ujian dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, sebagai syarat mendapatkan SIM C I atau SIM C II.
“Nantinya harus melalui uji kompetensi teori dan praktik keterampilan mengendarai sepeda motor sesuai golongannya,” kata Pudji saat dihubungi, Jumat (4/12).
Pudji mengatakan, klasifikasi SIM sebelumnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Berdasarkan UU tersebut, kata Pudji, penggolongan SIM terdiri atas SIM A untuk mobil penumpang dan barang dengan jumlah berat tidak lebih dari 3.500 kilogram.
Kemudian, SIM B I yang diperuntukkan bagi mobil berbeban lebih dari 3.500 klogram, serta SIM B II untuk mobil alat berat, kendaraan penarik, truk gandeng, dan bus dengan berat kendaraan lebih dari 1.000 kilogram.
Untuk pengemudi kendaraan umum atau berpelat kuning diwajibkan memuliki SIM Umum, yang disesuaikan dengan jenis dan golongan kendaraan. Terakhir, SIM D untuk pengendara disabilitas.
Lalu, mantan Kepala Korps Lalu Lintas (2012-2014) dan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) (2016-2017) itu mengatakan, terbitnya Perkap 9/2012 menjadi aturan yang melengkapi terkait ketentuan berlalu lintas.
Pudji menyebut, ada beberapa alasan klasifikasi SIM C berdasarkan beleid itu. Pertama, pertumbuhan minat masyarakat terhadap sepeda motor sebagai alat transportasi semakin meningkat. Peminat sepeda motor meluas hingga perdesaan, tak hanya di kota-kota besar. Warga yang menggunakan sepeda motor pun mencakup berbagai kalangan dan usia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), hingga penghujung 2018 jumlah sepeda motor di Indonesia sebanyak 120.101.047 unit. Naik dari tahun sebelumnya, yakni sebanyak 111.988.683 unit. Jumlah sepeda motor mengalahkan jenus kendaraan lainnya, seperti mobil penumpang, bus, dan mobil barang.
Sementara menurut data dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) pada 2020 sebanyak 3.194.344 uni sepeda motor terjual ke konsumen di dalam negeri. Di tahun yang sama, sebanyak 542.016 unit sepeda motor diekspor.
AISI merinci, selama 2020 jumlah skuter paling banyak dibeli konsumen dalam negeri, yakni 2.415.098 unit (88,3%). Diikuti sepeda motor sport sebanyak 161.108 unit (5,9%) dan sepeda motor bebek sebanyak 158.297 unit (5,8%).
Kedua, tingginya jumlah pengendara sepeda motor berisiko pada besarnya jumlah kasus kecelakaan lalu lintas. “Kurang lebih 70% korban laka lantas (kecelakaan lalu lintas) adalah pengendara sepeda motor,” ujarnya.
Ia memandang, korban kecelakaan lalu lintas pengendara sepeda motor tak bisa dilepaskan dari konsep dan desain sepeda motor sebagai kendaraan roda dua yang tak dilengkapi sistem perlindungan dan keamanan maksimal.
“Akibatnya, pengendara sepeda motor sangat rentan mengalami benturan dan dampak yang fatal ketika mengalami kecelakaan lalu lintas,” kata dia.
Ketiga, berkembangnya teknologi rancang bangun sepeda motor yang semakin canggih, dengan kapasitas silinder mesin semakin tinggi. Ia mengatakan, beragam jenis dan merek sepeda motor ber-CC tinggi, seperti moge, menjadi contohnya.
Di sisi lain, cara mengendarai sepeda motor dengan kapasitas silinder mesin rendah berbeda dengan sepeda motor berkapaitas silinder mesin besar.
“Beban sepeda motor CC besar akan lebih berat. Lebih kencang lajunya dan tentunya akan lebih sulit dikendalikan ketika dikendarai jika tidak memiliki keterampilan memadai,” tuturnya.
Menurut Pudji, Korps Lalu Lintas Polri masih terus mendalami dan mengkaji wacana penerapan aturan teknis SIM C. Persiapan itu, kata dia, meliputi penyediaan perangkat lunak dan keras yang akan digunakan dalam menjalankan sistem uji kompetensi, serta pelatihan bagi personel kepolisian dalam mengoperasikannya. Ia menambahkan, peralatan yang akan digunakan untuk uji kompetensi dan pembuatan SIM akan lebih berbasis komputerisasi dan teknologi digital.
“Semua butuh persiapan dan kesiapan yang baik dan maksimal, sebelum kebijakan itu diterapkan,” ucapnya.
“Apabila tidak dapat dilakukan serentak, tentunya harus dilakukan secara bertahap.”