Di tengah penyusunan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) oleh pemerintah dan DPR untuk menyesuaikan pemindahan ibu kota negara, muncul usulan agar ada aturan soal wali kota dan DPRD tingkat II di Jakarta dipilih secara langsung. Usulan itu datang dari Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta sekaligus Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DKI Jakarta, Khoirudin.
Khoirudin menilai, keberadaan wali kota dan DPRD tingkat II akan lebih memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Dikutip dari Antara, DPRD tingkat II dibutuhkan usai Jakarta tak lagi berstatus ibu kota negara karena bakal meningkatkan fungsi pengawasan dan anggaran, sehingga pelaksanaan pembangunan bisa lebih optimal.
Sementara terkait pemilihan secara langsung wali kota, dilansir dari Antara, Khoirudin menjelaskan, meski nanti Jakarta punya kekhususan, tetapi hak rakyat untuk memilih kepala daerah tak boleh dirampas dan harus masuk dalam RUU DKJ.
Menanggapi hal itu, analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, A. Bakir Ihsan menilai, usulan agar wali kota di Jakarta dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala daerah (pilkada) sangat memungkinkan.
“Semangatnya secara politik dapat memberikan keluasan warga Jakarta untuk memilih dan mengontrol terhadap para wakilnya dan wali kotanya dalam pelayanan,” kata Bakir kepada Alinea.id, Senin (18/3).
Selain itu, Bakir mengatakan, dengan menghadirkan pemilihan umum di level daerah tingkat II di Jakarta, dapat meningkatkan otonomi daerah Jakarta hingga ke level kota madya, yang lebih dekat dengan masyarakat. Walaupun, di sisi lain, pemilihan langsung wali kota di Jakarta berpotensi membuka celah masalah malaadministrasi dan korupsi.
“Namun Jakarta dengan tingkat pendidikan warganya yang lebih bagus, bisa jadi percontohan kontrol yang kuat oleh masyarakat terhadap pimpinannya, sehingga mempersempit ruang penyimpangan,” kata Bakir.
Terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman tidak sepakat dengan usul agar wali kota di Jakarta dipilih secara langsung. Sebab, bila peta politik yang terjadi di kota madya berbeda dengan provinsi, maka bisa membuat tata kelola pemerintahan tidak efisien.
Di samping itu, model kelembagaan di Jakarta juga dirancang menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat, yang langsung dikendalikan gubernur dengan tujuan program dan tata kelola provinsi semakin efisien.
“Mulai dari proses perencanaan, penganggaran, penyusunan kebijakan, dan lahan publik di Jakarta,” ujar Armand, Senin (18/3).
Lebih lanjut, Armand memandang, bakal sulit menangani urusan Jakarta jika terjadi fragmentasi antara politik di tingkat provinsi dan kota madya. Soalnya, dijelaskan Armand, fragmentasi sudah pasti bakal menciptakan disharmoni, yang dampaknya bisa memicu ketidaksinkronan tata kelola pemerintah antara provinsi dan kota madya di Jakarta.
“Kami membayangkan, kalau keempat daerah administrasi ini diberi otonomi, dikhawatirkan perbedaan visi-misi dan program kerja. Dan keempat kota madya akan memengaruhi kedudukan dan fungsi Jakarta sebagai pusat perekonomian global dan aglomerasi,” tutur dia.
Armand memandang, kendati sudah tak lagi menjadi ibu kota negara, sebaiknya kekhususan di Jakarta tidak mengubah banyak desain kelembagaan, yang memiliki otonomi pun hanya pada level provinsi.
“Untuk menjaga keharmonisan dan sinkronisasi perencanaan kebijakan dan pelayanan publik ke depan menurut kami otonomi itu cukup level provinsi,” ujar Armand.