Para terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek BTS 4G BAKTI Kominfo melawan balik tudingan jaksa penuntut umum (JPU). Perhitungan nilai kerugian negara Rp8,03 triliun oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menjadi pintu masuk merontokkan tuntutan.
Terdakwa Irwan Hermawan dan Galumbang Menak Simanjuntak, misalnya. Melalui kuasa hukumnya, Romulo Silaen, keduanya menilai JPU memberikan pernyataan yang menyesatkan dengan menuding proyek mangkrak.
Proyek tersebut sempat tersendat karena pandemi Covid-19 dan kondisi menara bermasalah lantaran kahar. Namun, persentase penyelesaian proyek nyaris rampung.
"Tapi, itu bukan mangkrak. Toh, setelah pandemi, kan, proyeknya berjalan lagi," katanya, saat dikonfirmasi, Kamis (2/11).
Dalam perkara ini, Irwan dituntut pidana 6 tahun penjara serta membayar denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp7 miliar. Adapung Galumbang dituntut 15 tahun penjara dan membayar denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Romulo menilai, perhitungan kerugian negara oleh BPKP tidak berdasar. Sebab, pekerjaan nyaris selesai sehingga kerugian semestinya tidak muncul.
"Kerugian negara itu harus nyata dan pasti. Jadi, bagaimana mau menghitung kerugian kalau proyeknya saja masih berjalan sampai saat ini?" tanya dia.
Pembelaan Johnny
Bekas Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Johnny G. Plate, juga berupaya mematahkan tuntutan JPU. Dalam nota pembelaannya, menurutnya, apa yang didakwakan kepadanya oleh KPU tidak didukung alat bukti yang sah dan lengkap.
"Nota pembelaan ini juga merupakan penjelasan yang melengkapi keterangan-keterangan saya dalam persidangan agar dapat memberikan keterangan yang utuh kepada persidangan dan kepada Yang Mulia Majelis Hakim," tuturnya dalam persidangan, Rabu (1/11).
Johnny Plate dituntut 15 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Selain itu, juga dibebankan membayar uang pengganti Rp17,8 miliar subsider 7 tahun 6 bulan penjara.
Ia pun heran dengan langkah JPU yang monoton. Johnny berpendapat, surat tuntutan yang dibacakan pada pekan lalu terdengar familiar dengan dakwaan pada sidang pertama.
"Padahal, berdasarkan fakta persidangan, semua dakwaan yang didalilkan kepada saya telah terbantahkan," yakinnya.
Ia pun sangsi penetapannya sebagai tersangka—hingga kini menjadi terdakwa—didasari bukti-bukti kuat. Bagi politikus Partai NasDem ini, ia dijerat karena motivasi politik.
"Sejak awal saya ditetapkan sebagai tersangka, tidak dapat dipungkiri begitu banyak pendapat-pendapat yang mengatakan bahwa penetapan saya sebagai tersangka tidak terlepas dari situasi politik yang sedang terjadi pada saat itu," tuturnya.
Peluang lolos
Menurut pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakkir, para terdakwa berpeluang mendapatkan vonis ringan dengan mengajukan audit ulang. Pangkalnya, potensi kerugian total (total loss) megaproyek BTS Rp8,03 triliun dalam kalkulasi BPKP dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dianggap belum rampung bahkan tidak tepat.
Ia berpendapat demikian karena BPKP tidak mempertimbangkan ada pekerjaan yang masih berlanjut dan adanya pengembalian uang yang dilakukan konsorsium pelaksana proyek sebesar Rp1,7 triliun kepada BAKTI.
Ketika permohonan audit ulang dikabulkan, sambungnya, hal itu bisa menjadi pertimbangan hakim dalam menetapkan kerugian negara yang sesungguhnya dan berdampak pada dakwaan JPU selama ini karena bisa dirasa keliru.
"Kalau itu dilakukan, hakim nanti akan berpedoman besaran kerugian itu sebagai instrumen penjatuhan pidana. Itu harus dilakukan. Jadi, produknya itu kritik tanpa audit. Kemudian, auditnya itu harus direvisi," tutur Mudzakkir, Selasa (31/10).
Mudzakkir melanjutkan, BPKP memiliki kemungkinan lalai dalam menghitung kerugian negara dalam megaproyek BTS. Sebab, bisa saja tidak mempertimbangkan kesulitan pekerjaan yang ada mengingat lokasi pekerjaannya berada di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Istilahnya 3T itu karena jauh dan di perbatasan juga. Mestinya itu, kan, dipertimbangkan juga," jelasnya.