Sejumlah pengguna ponsel umumnya pernah mengalami pelanggaran data pribadi tanpa izin pemiliknya. Misalnya, tiba-tiba dihubungi oleh orang yang tidak dikenal dan menawarkan jasa kartu kredit, asuransi, pinjaman tanpa agunan, dan iklan komersil ke nomor ponsel pribadi.
Hal tersebut mengindikasikan pelanggaran data pribadi yang belakangan memang masif terjadi. Bahkan belum lama, penyalahgunaan dana pribadi mengemuka seiring dengan isu kebocoran data dalam registrasi kartu sim. Meski kemudian isu itu ditepis keras oleh Menkominfo.
Merespons ini, Wakil Ketua Komisi 1 DPR RI Hanafi Rais Wiryosudarmo dalam siaran persnya mengatakan, penting adanya jaminan pemerintah yang berkenaan dengan data pribadi secara sistematis dan konstitusional. Apalagi baru-baru ini muncul banyak kejadian yang mengancam kedaulatan atas hak data pribadi warga negara.
Bersandar pada UUD pasal 28 huruf (G), lanjutnya, setiap setiap warna negara berhak atas perlindungan diri pribadi serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman. Oleh karena itu fraksi PAN memandang penggunaan data pribadi tanpa seizin pemiliknya sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Dia juga mengomentari terbatasnya supremasi hukum terhadap UU yang berkaitan dengan pengumpulan data pribadi. PAN menyimpulkan, ada semangat yang baik dari berbagai legislasi yang mengatur akses informasi, surveillance, serta pengumpulan data pribadi. Namun itu tidak dibarengi dengan tanggung jawab optimal untuk menjaga dari segala bentuk penyalahgunaan data pribadi.
Anak Amien Rais itu mendorong secara serius melalui Ketua Fraksi PAN, agar segera dibahas RUU Perlindungan data pribadi. Tujuannya agar memberikan rasa nyaman, aman, dan adil kepada masyarakat.
“FPAN mendapat informasi dari Badan Legislatif DPR RI, RUU Perlindungan Data Pribadi yang merupakan inisiatif pemerintah tidak masuk Prolegnas. FPAN menyarankan agar institusi-institusi dalam pemerintahan yang terkait dengan data pribadi segera melakukan koordinasi yang intensif dan akseleratif agar mengkristalkan sikap yang satu suara,” tegas Hanafi.
Lebih lanjut, Hanafi menegaskan hari ini data pribadi menjadi menjadi komoditi yang paling dicari, tidak hanya oleh pemerintah maupun penegak hukum, akan tetapi juga oleh sektor swasta. Dengan data pribadi, sektor swasta mampu memahami perilaku masyarakat. Setelah itu mengelola preferensinya untuk diarahkan sesuai tujuan bisnis mereka.
Celakanya, kesadaran publik sangat minim dalam menjaga data pribadi. Diperparah lagi, dengan komitmen intitusi baik swasta maupun pemerintah yang menginventarisasi data pribadi yang relatif rendah.
Mendorong UU perlindungan data pribadi
Dalam rilis yang ditulis ELSAM, Rabu (7/3) hal paling mendesak yang perlu diselesaikan adalah pembentukan payung hukum soal perlindungan data pribadi. Menurut Wahyudi, ada 32 UU yang mengatur data pribadi warga negara. Mayoritas hukum positif tersebut memberi wewenang besar pada otoritas pemerintah dan swasta untuk pengelolaan data pribadi, termasuk di dalamnya praktik intrusi. Sektor yang diatur pun beragam mulai telekomunikasi, keuangan dan perbankan, kependudukan, hingga penegakan hukum.
Dari sekian UU tersebut, justru banyak centang perenang dalam aspek tujuan pengelolaan data pribadi, pemberi izin untuk membuka data pribadi ke pihak ketiga, hingga mekanisme pemulihan bagi korban pelanggaran privasi.
Dalam kasus registrasi kartu SIM hanya dijamin dengan Permenkominfo, bukan UU. “Merujuk pada Permenkominfo Nomor 12 Tahun 2016 dan Permenkominfo Nomor 14 Tahun 2017, yang diubah kembali dengan Permenkominfo No. 21 Tahun 2017, tidak disebutkan dengan jelas maksud dan tujuan dari dilakukannya registrasi ulang kartu SIM. Pihak pemerintah hanya mengatakan, kebijakan ini diperlukan dikarenakan banyaknya praktik penyalahgunaan SIM Card, seperti penipuan. Ini senada dengan masalah perekaman informasi pribadi di program KTP elektronik,” urai Wahyudi dalam rilisnya.
Harapannya, dengan adanya aturan dalam registrasi SIM maupun data pribadi, keamanan informasi publik dan privasi bisa terjamin. Bagi pelanggar privasi pun bisa memperoleh sanksi yang tegas, tak hanya administratif seperti yang tertuang dalam Permen Kominfo misalnya.