Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, menilai, nelayan mesti hadir di perairan Natuna, Kepulauan Riau. Guna memperkukuh kepemilikan Indonesia di sana.
"Jangan kita kalah dengan China. Di peta mereka, bilang sembilan garis putus. Tapi, (nelayan) mereka hadir di sana," ujarnya di Jakarta, Senin (13/1).
"Sementara kita, bilang ini ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) kita. Tapi, kita tidak hadir. Itu gimana?" ucapnya.
Dia menduga, keberadaan nelayan China di Laut Natuna Utara karena disubsidi pemerintahnya. Sehingga, terdorong untuk menggeliatkan usaha perikanan.
"Yang menjadi pertanyaannya, adalah nelayan-nelayan kita disubsidi enggak? Karena kalau ternyata mereka tidak diberi subsidi, pikiran mereka akan menjadi pikiran bisnis. 'Kalau saya tidak mendapat untung, ya, buat apa (melaut di Natuna),'" tuturnya.
Karenanya, akademisi Universitas Indonesia (UI) ini mendorong pemerintah memberikan subsidi kepada nelayan. Agar berkenan melaut di daerah perbatasan.
"Kalau sudah melaut, tugas kita melindungi. Kalau mereka dihalau kapal dari China," katanya.
"Sekarang ini, yang saya lihat dari berita, itu banyak nelayan kita di Natuna mengeluh. Kalau mereka dihalau dan tidak punya backing-an. Kalau China, kan, punya," ujarnya.
Menurut Hikmahanto, pemerintah juga perlu melakukan diplomasi di balik pintu (back door diplomacy). Urusan perhubungan antarnegara dilakukan figur yang mampu berbicara dengan China.
"Paling tidak dapat mengatakan kepada China, bahwa Indonesia tidak akan bisa membendung sentimen publik Indonesia yang antinegara China. Apabila hal ini terus terjadi. Karena saat ini sudah banyak terjadi di masyarakat Indonesia," tutupnya.