Urgensi regulasi di tengah kerentanan para pekerja gig
Sudah sepekan lebih Kuncoro, 28 tahun, terserang pusing hebat karena bekerja sepanjang hari sebagai pengemudi ojek daring. Saban hari, ia memburu penumpang di sekitar Stasiun Rawa Buaya, Jakarta Barat untuk mengejar target pendapatan hingga Rp250.000 per hari.
“Keperluan rumah tangga saya meningkat setelah punya anak,” ujar Kuncoro kepada Alinea.id, Senin (28/8).
Semula, ia bekerja menjadi pengemudi ojek daring hanya sambilan di sela waktu bekerja di bank swasta. Namun, ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Jadi sekarang, (ojek) saya jadiin kerjaan utama,” katanya.
Kuncoro sudah menjalani pekerjaan sebagai pengemudi ojek daring sejak lima bulan lalu. “Lama-kelamaan susah sekali cari duit. Dari pagi sampai malam, saya pernah cuma dapat Rp60.000,” ucapnya.
Padahal, saat masih menjadi pegawai bank swasta, gajinya Rp7 juta per bulan. Ia mengaku, bekerja sebagai mitra aplikasi transportasi penuh dengan ketidakpastian karena upah rendah dan minim perlindungan.
“Saya sih pengen ada kerjaan yang ada jaminan pensiun,” ujarnya.
Keluh kesah pekerja gig
Irvan Hidayat, 29 tahun, yang juga bekerja sebagai pengemudi ojek daring merasa, persaingan dan potongan tarif aplikator membuatnya semakin sulit meraih pendapatan yang baik bagi kebutuhan keluarga.
“Kalau sehari pendapatan bisa (dapat) Rp150.000, alhamdulillah. Kerja kurang-lebih di atas 10-11 jam,” ujar Irvan, Rabu (30/8).
Potongan komisi 20% yang dipatok aplikator membuat upahnya semakin rendah. “Saya juga lagi nguliahin adik saya. Saya lagi banyak pengeluaran,” ucapnya.
Irvan mengaku, tak ingin selamanya menjadi pengemudi ojek daring karena merasa semakin penuh ketidakpastian di tengah kebutuhan yang meningkat. Pemuda yang meraih sarjana bidang desain grafis ini punya rencana ingin membuka usaha kosmetik di toko online.
“Jadi, pekerjaan ini (pengemudi ojek daring) cuma peralihan, sekitar enam bulan lagi lah,” ujarnya.
Pengemudi ojek daring yang menjadi mitra perusahaan transportasi online merupakan salah satu contoh pekerja gig—pekerja yang bekerja berdasarkan proyek tertentu dalam waktu singkat, tanpa hubungan kerja atau terikat perjanjian kerja dengan pemberi kerjanya. Pekerja gig dipandang sebagai pekerjaan masa depan karena menawarkan fleksibilitas dan semangat wirausaha. Namun, tipe pekerjaan ini belum mendapat perlindungan, upah minim, dan jaminan pensiun.
Selain pengemudi ojek daring, videografer paruh waktu seperti Ruben Edward Mataji, 31 tahun, juga merupakan jenis pekerja gig. Pemuda lulusan ilmu komunikasi Universitas Sahid Jakarta itu mengaku, bayaran tak sesuai dengan beban kerja. Belum lagi, sering dibayar telat dari perjanjian.
Dalam banyak kasus, Edward sering mendapat klien yang tak paham kerja video editing, sehingga karyanya kerap dihargai murah. Termasuk mengerjakan video animasi.
"Biasanya kasus bundling editing. Contoh 10 video (7 video biasa dan 3 animasi) dihargai dengan harga simple editing," ujar Edward, Selasa (29/8).
Padahal, menurutnya, mengedit video animasi lebih rumit dan memerlukan waktu yang lebih lama ketimbang video biasa.
Edward sering kali mendapat proyek video durasi 45-60 menit, dengan bayaran Rp400.000-Rp500.000 untuk sebuah produk makanan. Ia juga harus melakukan revisi hingga 12 jam.
“Tapi, sekarang saya batasi. Kalau mau revisi, maksimal 3 kali. Tapi kalau ada revisi mayor, saya kenakan biaya tambahan,” ucapnya.
Akan tetapi, ia kerap tak dibayar tepat waktu. “Bahkan bisa sampai 15-30 hari (baru dibayar),” tuturnya.
Selain itu, beberapa kali ide video karyanya dicuri oleh klien yang tak jadi memakai jasanya. Sebulan, Edward bisa mendapat 2 hingga 4 proyek video, dengan total pendapatan Rp7 juta hingga Rp9 juta. Namun, itu ia dapat setelah mendapat klien reguler.
“Saya berpikir, harga (proyek harus) ada minimum upah dan aturan soal jaminan pensiun dan sosial,” kata dia.
“Sebab, saya merasa, freelancer memiliki bobot pekerjaan dan tanggung jawab yang sama dengan karyawan tetap di perusahaan atau instansi.”
Menurutnya, regulasi yang mengatur standar upah, jaminan sosial, dan pensiun pekerja gig perlu dibuat. Tujuannya, agar anak muda tak takut bekerja lepas seperti dirinya.
Perkembangan pekerjaan gig dirasakan Muhammad Rian, 30 tahun, yang membuka bisnis vendor fotografi pernikahan. Ia punya banyak rekanan fotografer paruh waktu.
“Saya memulai usaha ini dari 2019, setelah berhenti jadi wartawan,” kata Rian, Selasa (29/8).
Rian kurang sepakat bila upah minimum pekerja gig fotografer diatur. Sebab, menurutnya, upah tersebut sangat bergantung dari keterampilan dan alat fotografi yang dimiliki. Ia menghargai karya fotografer yang dipekerjakannya dengan mempertimbangkan keahlian dan alat yang digunakan.
“Kalau alatnya bagus dan keterampilannya bagus, sekali proyek untuk setengah hari saya hargai mereka Rp1,2 juta sampai Rp1,5 juta. Kalau sehari penuh, dari Rp1,5 juta sampai Rp2 juta,” ucapnya.
“Sementara kalau alatnya biasa saja, sekitar Rp800.000 atau Rp1 juta.”
CEO Holographindo tersebut merasa, pekerja gig fotografi perlu perlindungan dari sisi hak cipta. Rian memiliki pengalaman pahit, idenya diambil klien yang tak jadi memakai jasanya. Padahal ia sudah rapat dengan klien tersebut.
Rian juga sering mengalami penundaan pembayaran yang terlalu lama. “Bahkan hingga sebulan lebih,” tuturnya.
Saat ini, ia sudah punya sekitar 20 rekanan fotografer paruh waktu. Ia merasa, jaminan sosial dan pensiun perlu dirancang, tetapi jangan dibebani kepada pemberi kerja.
“Jadi yang menyusun pensiun itu negara. Kalau saya setuju aja negara yang mengatur," ucap Rian.
Pentingnya regulasi
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memandang, pertumbuhan pekerja gig yang semakin besar perlu diregulasi. Terutama yang mengatur mengenai upah dan jaminan pensiun. Sebab, nasib pekerja gig kerap kali berada pada kondisi yang penuh kesenjangan.
"Selama ini yang diuntungkan pemberi kerja. Menurut saya, memang ada kesengajaan pemberi kerja mempekerjakan secara informal karena tidak ada regulasi yang mengikat," ucap Esther, Senin (28/8).
Meski begitu, kata Esther, regulasi yang mengatur kesejahteraan pekerja gig bukan kabar gembira bagi pemberi kerja. Alasannya, hal itu bakal menambah beban pemberi kerja.
"Biaya produksinya pun akan naik dan biasanya dibebankan ke konsumen," ucap Esther.
Esther berpandangan, perlindungan jaminan sosial dan upah layak bagi pekerja gig perlu disetarakan dengan pekerja formal. Contohnya di Belanda, yang mengatur upah minimum bagi pekerja formal dan informal.
"Sehingga jelas hak dan kewajibannya dari kedua pihak, baik pekerja maupun pemberi kerja," ucapnya.
Sementara, agar tidak terlampau memberatkan pemberi kerja, Esther mengatakan, pemerintah perlu membuat skema anggaran untuk membiayai jaminan sosial dan pensiun dari pajak yang dipotong dari gaji pekerja gig.
"Asuransi kesehatan mereka harus bayar sendiri dan hukumnya wajib," kata Esther.
Rencana untuk merancang aturan proteksi pekerja gig agar tak dieksploitasi perusahaan sedang dilakukan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Akan tetapi, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Afriansyah Noor menuturkan, penyusunan aturan bagi pekerja gig masih dalam proses.
"Saya belum dapat input dari tim Kemenaker yang merancang," ucap pria yang akrab disapa Ferry itu, Senin (28/8).
Terpisah, koordinator Divisi Advokasi Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Bimo Aria Fundrika mengatakan, pekerja gig menjamur seiring dengan kemajuan teknologi. Menurutnya, saat ini banyak muncul istilah yang “menjebak” pekerja gig, mulai dari mitra, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), atau freelancer full time.
“Istilah-istilah ini akhirnya membuat perusahaan seolah menghindar dari kewajibannya untuk menaikkan hak-hak normatifnya, semisal memberikan BPJS, kemudian memberikan THR (tunjangan hari raya),” ujarnya, Selasa (29/8).
Dua tahun belakangan, Sindikasi menerima laporan bahwa banyak pekerja gig yang merana karena upah yang minim dan jam kerja yang berlebih. Bahkan, banyak dari pekerja gig berkejaran dengan waktu untuk mendapatkan uang yang sebenarnya tak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
"Karena itu, kami di Sindikasi meminta pemerintah untuk bisa mencabut Undang-Undang Cipta Kerja," ucap Bimo.
"Kami juga meminta pemerintah itu lebih ketat dalam melakukan pengawasan terhadap pemberi kerja yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hubungan kerja ini.”
Menurut Bimo, Kemenaker lemah mengawasi pelanggaran dan cenderung tutup mata terhadap kondisi pekerja gig, dengan dalih tidak memiliki personel yang cukup. Ia menceritakan, banyak pekerja gig, semisal penulis lepas yang bekerja berlebih karena berulangkali melakukan revisi tanpa batasan, dengan bayaran minim.
“Ini kan juga berbahaya. Semisal mereka bekerja enggak jelas kapan waktu selesai kerjanya,” katanya.
Di sisi lain, dalam konteks pengemudi ojek daring, Bimo melihat perusahaan aplikasi transportasi semakin mencekik mitranya dengan akal-akalan, yang giat bekerja lebih banyak mendapat orderan. Hal itu memicu pengemudi transportasi daring bekerja terus-menerus agar aplikator lebih memberi peluang mendapat penumpang.
Bimo berpandangan, Kemenaker perlu membuat regulasi yang memberi jaminan sosial dan pensiun bagi pekerja gig, dengan skema seperti pekerja formal. Selain itu, upah yang berkeadilan dan jam kerja yang sehat juga perlu dirancang untuk memberi perlindungan.
“Kalau enggak diatur, akhirnya pekerja-pekerjanya mau enggak mau bekerja melebihi waktu. Jadi, seperti lingkaran setan karena upahnya kecil,” ujarnya.
“Mereka mau enggak mau bekerja berkali-kali lipat, lebih dari 8 jam untuk bisa memenuhi upah yang mencukupi hidup.”