Usaha melindungi perempuan dari pelecehan seksual di tempat kerja
Dewi—bukan nama sebenarnya—yang berprofesi sebagai sales promotion girl (SPG) di Semarang, Jawa Tengah mengaku sering menerima pelecehan seksual secara lisan dari konsumen atau kliennya. Perempuan berusia 27 tahun itu mengaku, banyak orang memandang miring pekerjaannya.
“Saya pernah ditanya, ‘mbak berapa? Kira-kira bisa dibawa pulang apa enggak?’” kata Dewi kepada reporter Alinea.id, Rabu (14/4).
Dewi yang sudah bekerja sejak 2011 ini mengaku, profesi SPG sangat rentan mengalami pelecehan seksual. “Ketika kerja, orang tiba-tiba mengomentari bagian tubuh kami,” katanya.
Ia sudah muak dengan tindakan menjurus ke pelecehan seksual itu. Celakanya, saat melapor ke atasannya, tak pernah ada respons yang serius.
Pengakuan korban
Rani—bukan nama sebenarnya—juga masih ingat betul bagaimana peristiwa getir pelecehan secara fisik maupun lisan yang dialami ketika menjadi sekretaris di sebuah pabrik pengolahan kayu di Wonosobo, Jawa Tengah pada 2019. Perempuan asal Purwokerto, Jawa Tengah ini masih mengalami trauma dan rasa takut.
Kejadian pahit yang menimpa Rani berawal saat ia tiba-tiba ditunjuk sebagai sekretaris oleh bosnya di pabrik. Semula Rani merupakan staf pemasaran, yang mengurus barang ekspor.
“Karena alasan kekurangan orang, atasan nugasin saya merangkap jadi marketing plus sekretaris,” kata Rani, Selasa (13/4).
Setelah itu, bosnya mulai melontarkan candaan beraroma seksual. "Semisal mengomentari bentuk dada saya. Awalnya saya diam saja," ucapnya.
Lama kelamaan, bosnya bertindak makin di luar batas. Bosnya itu nekat menyentuh bagian tubuh Rani. “Kadang, waktu saya fokus kerja, tiba-tiba tangannya memegang paha saya,” ujarnya.
Pelaku yang berusia sekitar 50 tahun itu bahkan pernah mengajak Rani berhubungan badan. Ia mengaku tak berani melawan saat atasannya melakukan pelecehan seksual. Ia juga tak bernyali untuk melaporkan tindakan atasannya itu kepada pihak yang berwajib. Menghindar adalah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan.
"Karena saya tahu kemampuan saya sampai di mana. Jadi ya mending saya yang menjauh," ucap Rani.
Tak tahan dengan situasi di tempat kerjanya, pada Mei 2020 Rani memutuskan mengundurkan diri. “Karena saya enggak bisa berbuat apa pun.”
Pelecehan seksual juga menimpa seorang reporter bernama Anggi—nama samaran—pada 2019. Perempuan berusia 26 tahun itu mengatakan, mendapat perlakuan tak pantas dari seniornya, seorang kameramen stasiun televisi.
Ketika itu, Anggi masih menjadi reporter baru. Saat hendak rapat di kantornya, seniornya tersebut meletakkan tangan di kursi yang hendak diduduki Anggi.
“Saya menduduki tangannya,” kata Anggi saat dihubungi, Senin (12/4).
Spontan Angi marah. Ia menegur seniornya itu. Namun, seniornya itu berkilah, ia hanya bercanda.
“Gila aja cara begitu bercanda. Mau enggak anak perempuan dia digituin?” ujarnya.
Ternyata, bukan hanya Anggi yang mendapatkan perlakuan serupa. Sebelumnya, ada reporter perempuan yang mengalami pelecehan secara lisan dan memutuskan mengundurkan diri karena tak tahan.
Kendati demikian, Anggi tak sampai hati melaporkan perbuatan oknum seniornya itu ke manajemen kantor. Ia takut, seniornya itu dipecat.
“Saya kasihan sama keluarga dia. Kalau dilaporin, terus kasusnya jadi panjang, bagaimana?” ucapnya.
Pelecehan seksual di tempat kerja menjadi perhatian serius dari beberapa pihak. Jumlah korban pun tak main-main.
Dari hasil survei yang dilakukan Scoop Asia dan Never Okay pada 19 November hingga 9 Desember 2018 kepada 1.240 responden dari 34 provinsi di Indonesia diketahui, sebanyak 40% laki-laki dan 44% perempuan mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
Dampak dari pelecehan beragam. Sebanyak 50,89% responden mengaku menghindari situasi kerja tertentu. Sebanyak 35,48% merasa takut dan tak aman. Bahkan, ada 2,66% responden yang berpikir mau bunuh diri.
Hasil survei tersebut juga memaparkan, pelaku pelecehan seksual paling dominan dilakukan bos atau teman sekerja senior, yakni 36%. Selanjutnya, pelaku adalah rekan kerja di level yang sama, yakni 33,6%.
Mencegah pelecehan
Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan Pekerja dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Rafail Walangitan mengakui, tempat kerja belum sepenuhnya aman bagi perempuan.
Ia mengatakan, ketika perempuan dihadapkan pada persoalan pelecehan seksual, akan muncul tiga masalah, yakni trauma, rasa takut, dan stres. Imbasnya, terkadang tak berani mengadukan kasusnya.
“Padahal kami harapankan semua perempuan untuk berani bicara. Kalau misalnya takut terekspos, ya laporannya sifatnya akan rahasiakan," ujar pria lulusan Monash University, Australia itu saat dihubungi, Selasa (13/4).
Oleh karena itu, pihaknya bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Kementerian Sosial (Kemensos) membangun rumah perlindungan pekerja perempuan (RP3) di lima kawasan industri. Tujuannya, memfasilitasi dan mengadvokasi pekerja perempuan yang mengalami pelecehan seksual.
“Sejak 2019 kami membangun lima RP3 di kawasan industri, seperti di KBN (Kawasan Berikat Nusantara) Cakung, KIEC (Krakatau Industrial Estate Cilegon), KIIC (Karawang International Industrial City), PIER (Pasuruan Industrial Estate Rembang), dan Bintan Industrial Estate di Kepulauan Riau,” tuturnya.
Ia menyebut, kawasan industri dipilih sebagai awal program pembangunan RP3 lantaran sektor industri banyak menyerap pekerja perempuan. Menurut dia, di Karawang ada sekitar 62.000 pekerja perempuan. Lalu, di Cakung ada sekitar 22.000 pekerja perempuan.
"Jadi kami harapkan mereka juga berani melapor ke RP3 bila mengalami pelecehan seksual, biar diadvokasi," katanya.
RP3, kata Rafail, dibangun sebagai sarana untuk pendampingan pekerja perempuan yang jadi korban pelecehan seksual. "Bisa digunakan guna melakukan pengaduan, penanganan, kemudian rujukan akhir," ucap Rafail.
Akan tetapi, Rafail mengaku, belum sepenuhnya sektor kerja tersedia fasilitas RP3. Maka, tahun ini kementeriannya akan membangun lima RP3 baru di sektor industri berbeda.
“Seperti di sektor perkebunan, pertanian, pariwisata, perikanan, dan BUMN,” ujarnya.
Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Theresia Iswarini memandang, pekerja perempuan rentan mengalami pelecehan seksual. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap pekerja perempuan di tempat kerja ada di posisi ketiga.
“Kekerasan di tempat kerja tahun 2020 ada 64 kasus (9%), baik yang dilakukan atasan maupun sesama rekan kerja,” ujar dia saat dihubungi, Selasa (13/4).
Namun, menurut Theresia, data itu belum bisa menunjukkan realitas yang sesungguhnya. Ia menduga, masih banyak pekerja perempuan yang belum berani melaporkan karena khawatir.
"Mereka takut melapor karena takut kehilangan pekerjaan. Ketika sudah dilaporkan di internal perusahaan, perusahaan melarang korban melapor ke kepolisian. Perusahaan juga menganggap pelecehan seksual bukan isu penting," ujar Theresia.
Sementara itu, anggota Komisi VIII DPR dari fraksi PDI-P Selly Andriany Gantina menilai, maraknya pelecehan seksual terhadap pekerja perempuan merupakan potret buram ketenagakerjaan. Hal ini disebabkan tak adanya perlindungan bagi mereka.
Menurut dia, banyak perusahaan tak acuh terhadap pencegahan pelecehan seksual yang menimpa pekerjanya karena menganggap hal itu ranah privat.
"Perusahaan tidak mau ambil pusing menyiapkan sistem penanganannya, sehingga pekerja perempuan seperti hidup di hutan rimba yang sewaktu-waktu bisa terampas hak-haknya,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (14/4).
Pekerja perempuan, kata Selly, belum punya kepastian hukum untuk terhindar dari pelecehan. Ia menyebut, belum ada legislasi yang spesifik mengatur soal itu.
Oleh karenanya, ia berpandangan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sangat penting didorong untuk menjadi undang-undang. Peraturan itu bisa menjadi payung hukum bagi pekerja perempuan dalam konteks pelanggaran asusila.
"RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini jadi urgen untuk perjuangan kolektif semua pihak, tidak terkecuali para pekerja perempuan," ucap Selly.
Selain itu, Selly pun mendorong agar pemerintah merancang sistem kantor yang bisa mencegah terjadinya pelecehan seksual. "Ada CCTV, ada monitoring berkala dari organisasi pekerja,” kata dia.
“Dan ada hukuman jelas bagi tindakan melanggar itu. Kalau berjalan dan membudaya, angka pelecehan seksual bisa ditekan.”
Di sisi lain, Theresia mendorong pemerintah menjalankan kebijakan perlindungan yang telah ada untuk memonitoring dan mencegah terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja. Menurut Theresia, pemerintah sudah punya perangkat hukum untuk melindungi pekerja perempuan, yakni Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
“Dalam pasal 86 disebutkan, setiap pekerja atau buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama,” ujar perempuan alumnus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu.
Ia pun mendorong setiap perusahaan agar punya standar operasional prosedur (SOP) dalam menangani pelecehan seksual terhadap perempuan di tempat kerja, seperti tersedianya saluran siaga (hotline) khusus untuk membantu korban, menangani serius bila ada laporan, dan memastikan korban mendapatkan keadilan.
“Agar korban bisa diadvokasi dan mendapatkan jaminan perlindungan,” tuturnya.