Pelaksana tugas (Plt) Direktur Utama PT Pupuk Indonesia Logistik (Persero) atau PT Pilog, Budiarto rampung diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Budiarto telah memberikan keterangan kasus dugaan suap kerja sama pengangkutan transportasi di bidang pelayaran antara PT Pilog dengan PT Humpuss Transportasi Kimia (HTK).
Dari pantauan Alinea.id, Budiarto keluar dari ruang pemeriksaan sekitar pukul 14.00 WIB. Dengan mengenakan kemeja bewarna biru tua, dia bergeming saat disinggung soal pemeriksaan kali ini. Tak ada satu kata pun yang terlontar dari Budiarto. Hanya melempar senyum kepada awak media.
Sedianya, Budiarto diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Taufik Agustono yang merupakan Direktur PT HTK. Dia merupakan tersangka keempat yang ditetapkan tersangka oleh KPK, setelah bekas anggota DPR RI Bowo Sidik Pangarso, orang kepercayaannya Indung, serta Marketing Manager PT HTK Asty Winasti.
Pada kasus itu, KPK tengah fokus mendalami proses pengadaan BHS di PT Angkasa Pura Propertindo (Persero) atau PT APP. Proses penelusuran itu telah dilakukan melalui pemeriksaan dari Direktur Bisnis PT Inti, Teguh Adi Suryandono.
Pada perkaranya, Taufik diduga kuat telah mengetahui dan menyetujui uang suap yang akan diberikan kepada Bowo. Uang itu diperuntukan agar PT HTK dapat kembali menjalin kerja sama transportasi bidang pelayaran dengan PT Pilog. Padahal, kontrak kerja sama kedua perusahaan itu telah diputus.
Dalam upaya merealisasikan kerja sama itu, Bowo meminta commitment fee kepada Asty. Atas permintaan itu, Asty melaporkan kepada Taufik dan menyanggupi permintaan Bowo.
Kemudian, PT Pilog dan PT HTK menyepakati MoU yang salah satu hasilnya kerja sama pengangkutan dapat dikerjakan oleh PT HTK pada 26 Februari 2019.
Namun setelah kerja sama itu terjalin, Bowo meminta PT HTK untuk membayar uang muka sebesar Rp1 miliar. Permintaan itu disanggupi oleh tersangka Taufik. Transaksi pemberian uang itu terjadi pada rentang waktu 1 November 2018 hingga 27 Maret 2019.
Adapun rinciannya adalah pada 1 November 2018 sebesar US$59,587. Kemudian pada 20 Desember 2018 sebesar US$21,327, selanjutnya 20 Februari 2019 US$7,819, dan 27 Maret 2019 sebesar Rp89,449,000.
Atas perbuatannya, Taufik disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.