Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil seorang wiraswasta bernama Zulkhairi Muhtar alias Heri, untuk diperiksa dalam kasus dugaan suap dalam pengerjaan proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016.
Heri akan dimintai keterangan untuk Direktur Utama PT Sharleen Raya JECO Group, Hong Artha, yang merupakan tersangka dalam kasus ini.
"Yang bersangkutan, akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka HA (Hong Artha)," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, di Jakarta, Jumat (28/2).
Nama Heri pernah disebut dalam sidang mantan Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara Amran Mustary. Dia terlibat dalam kasus ini dan telah berstatus terpidana, dengan vonis enam tahun pidana penjara dan denda sebesar Rp800 juta subsider enam bulan kurungan.
Dalam dakwaan kedua Amran, Heri selaku rekan Amran disebut sebagai pihak yang menerima uang bersama Imran S Djumadil, Quraish Lutfi selaku Kepala Satuan Kerja Wilayah I BPJN IX, dan Abdul Hamid Payapo sebagai pejabat pembuat komitmen Halmahera IV PJN Wilayah 2 Maluku Utara BPJN IX.
Mereka disebut pernah menerima uang Rp2,6 miliar, Rp15,525 miliar, dan 202.816 dolar Singapura dari sejumlah pengusaha untuk diberikan kepada Amran. Uang itu diberikan agar para penyuap mendapat proyek di wilayah Maluku dan Muluku Utara.
Adapun Hong Artha merupakan Komisaris sekaligus Direktur Utama PT Sharleen Raya JECO Group. Dia merupakan tersangka ke-12 yang ditetapkan penyidik KPK dalam perkara ini. Sebelas orang sebelumnya telah divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor.
KPK menduga Hong Artha secara bersama-sama memberikan suap Rp10,6 miliar kepada Amran Mustary pada 2015. Selain itu, Hong Artha juga diduga telah memberikan uang senilai Rp1 miliar kepada Damayanti Wisnu Putranti selaku anggota DPR periode 2014-2019 pada 2015.
Sejak ditetapkan tersangka pada 2 Juli 2019, KPK belum melakukan penahanan terhadap Hong Artha.
Atas perbuatannya, Hong Artha disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.