Mahkamah Konstitusi menerima 51 permohonan pengujian undang-undang selama tahun 2019. Dari jumlah tersebut, Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aturan yang paling banyak diuji ke MK.
Ketua MK Anwar Usman memaparkan, masing-masing regulasi ini diuji sebanyak 18 dan 9 kali. Selain dua beleid itu, yang banyak diuji juga adalah UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan lima permohonan uji materi.
"UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, (diuji) sebanyak 18 kali, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, sebanyak sembilan kali," kata Usman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (28/1).
Regulasi lain yang lebih dari satu permohonan uji materi ialah UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Masing-masing peraturan ini diuji sebanyak empat kali.
"Di tahun 2019, MK (juga) memutus satu perkara sengketa kewenangan lembaga negara," imbuh dia.
Dalam pidato Sidang Pleno Khusus Penyampaian Laporan Tahunan Mahkamah Konstitusi 2019, Usman memaparkan sebuah penelitian yang dilakukan tiga dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta Barat. Penelitian yang dilakukan pada 2019, menyoroti tingkat kepatuhan atas putusan MK dalam kurun waktu 2013-2018. Hasilnya, terdapat 24 atau 22,01% dari 109 perkara yang diputus tidak dipatuhi.
Sidang pleno ini juga dihadiri Presiden Joko Widodo dan sejumah pejabat negara. Mereka yang turut hadir, di antaranya Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly.