close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi cinta beda agama. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi cinta beda agama. Alinea.id/Bagus Priyo.
Nasional
Selasa, 07 Juni 2022 15:30

UU Perkawinan tidak mengakomodir perkawinan beda agama, benarkah?

Mahkamah Konstitusi sedang melakukan uji materi Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan.
swipe

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memandang, dalil permohonan untuk pengujian Undang-Undang Perkawinan tidak berdasar. Hal itu disampaikan dalam tanggapan permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Mahkamah Konstitusi.

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengatakan, dalil pemohon yang pada intinya menilai Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama oleh negara, seharusnya dimaknai sebagai pilihan bagi calon pasangan yang akan melangsungkan perkawinan beda agama. Sebab, sesuai risalah rapat pembahasan undang‑undang, pembuat undang-undang menormakan praktik perkawinan yang dilakukan setiap pemeluk agama yang memadukan unsur perkawinan menurut tata cara agama atau disebut dengan istilah religious marriage. 

“Dengan demikian, DPR berpandangan, dalil pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan merupakan bentuk pemaksaan agama tertentu oleh negara kepada warga negaranya, adalah dalil yang tidak berdasar,” kata Arsul dalam situs Mahkamah Konstitusi, yang dikutip Selasa (7/6). 

Ia menyampaikan, negara berperan memberikan perlindungan pada setiap warganya untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Hal ini merupakan perwujudan serta bentuk jaminan keberlangsungan hidup manusia. 

“Dengan demikian perkawinan tidak dapat dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial. Agama menetapkan keabsahan perkawinan, sedangkan undang‑undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” jelas Arsul.

Ia menyatakan, faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah syarat-syarat yang ditentukan oleh agama dari masing‑masing pasangan calon mempelai. Sementara, pencatatan perkawinan oleh negara melalui perundang‑undangan, merupakan kewajiban administrasi.

Pencatatan secara administratif yang dilakukan oleh negara bertujuan agar perkawinan yang tergolong perbuatan hukum penting dalam kehidupan setiap warga negara dan berimplikasi pada adanya akibat hukum kemudian hari.

Arsul menyebut, perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan tersebut menjadi penting untuk dilindungi oleh negara. Dengan demikian, telah jelas ketentuan ini menekankan penghormatan terhadap ajaran agama dan kepercayaan setiap warga negara yang dijadikan sebagai syarat sah dari perkawinan tanpa ada diskriminasi.

Pada kesempatan serupa, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI Kamarudin menyatakan dibentuknya UU Perkawinan, guna memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan, sesuai hukum dari agama dan kepercayaan yang dianut masing-masingnya. Sebab, pada hakikatnya hukum perkawinan setiap agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda‑beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan atau dipersamakan antara satu perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan dengan yang lainnya.

“Apabila terjadi, tentunya akan menimbulkan diskriminasi bagi setiap pemeluk agama dan kepercayaan dalam melangsungkan perkawinan,” jelas Kamaruddin.

Sebagai informasi, E. Ramos Petege (pemohon) merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.

Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan.

Selain itu, pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan