Ventilator karya anak bangsa melawan Covid-19
Hati Alvin Tanto tergerak untuk berbuat sesuatu, usai mendengar kabar seorang kawannya meninggal dunia karena Coronavirus disease (Covid-19). Alumnus teknik mesin dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu kemudian berpikir membuat ventilator.
Bersama empat rekannya, yakni Hengky Hidayat, Andy Hidayat, Gior Soros, dan Feby Handoko, Alvin mulai mengembangkan ventilator sejak Februari 2020. Saat itu, mereka melakukan penelitian awal. Hingga kini, mereka sudah melakukan lima kali iterasi atau perulangan.
“Lima prototipe ini artinya bikin satu salah, bikin satu lagi salah. Itu sudah lima kali,” katanya saat dihubungi reporter Alinea.id, Kamis (7/5).
Iterasi itu dilakukan karena mulanya mesin yang digunakan untuk ventilator tak kuat. Kemudian, mengalami gagal fluktuasi napas. Kendala lainnya, daya tahan baterai yang tak memadai dan badan ventilator kurang kokoh.
Bahan baku yang digunakan Alvin dan timnya memakai metal dan plastik. Sayangnya, tak semua komponen tersedia di dalam negeri. Maka, mereka harus mengimpor. Walau tak menyebutkan secara spesifik, Alvin berujar, total ada 15% komponen yang harus didatangkan dari luar negeri.
“Karena mesin ventilator lumayan canggih, di Indonesia kan enggak bisa bikin sensor,” tuturnya.
Terkait biaya pengembangan ventilator, Alvin mengaku, semua bersumber dari kantong pribadi masing-masing anggota tim yang terlibat alias mandiri. Alvin segera mengusulkan ventilator buatannya ke Balai Pengaman Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) agar kelak bisa diproduksi dan dipakai pasien Covid-19.
Proses uji
Ventilator atau alat bantu pernapasan memang salah satu peralatan medis yang sangat krusial dalam menangani pasien Covid-19. Namun, di tengah masifnya pandemi, Indonesia kekurangan ventilator untuk menolong nyawa penderita Covid-19.
Sampai-sampai, bulan lalu Presiden Joko Widodo menghubungi Presiden Amerika Serikat Donald Trump perkara ventilator.
“Just spoke to my friend, President Joko Widodo of the Republic of Indonesia. Asking for ventilators, which we will provide. Great cooperation between us!” kata Trump dalam cuitan di akun Twitternya, Jumat (24/4).
Selain Amerika Serikat, selama ini pemerintah mengimpor ventilator dari China, Jerman, dan beberapa negara Eropa. Meski begitu, belakangan ini beberapa lembaga mulai membuat ventilator secara mandiri.
Beberapa waktu lalu, Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, ada 28 usulan pembuatan ventilator. Dari jumlah tersebut, ada empat prototipe yang sudah selesai uji alat dan masuk uji klinis.
Empat prototipe itu berasal dari Universitas Indonesia (UI); Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (Unpad), dan Yayasan Pembina Masjid Salman; Dharma Group; serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Dilansir dari situs web ui.ac.id, tim ventilator UI mengembangkan ventilator transportasi lokal rendah biaya berbasis sistem pneumatik, yang dinamakan COVENT-20. Alat bantu pernapasan itu dinyatakan lulus uji produk untuk mode continuous mandatory ventilation (CMV) dan continuous positive airway pressure (CPAP) di BPFK Kemenkes pada 29 April 2020.
Rencananya, tahap awal UI akan memproduksi 1.000 ventilator dalam waktu satu bulan untuk diserahkan ke rumah sakit rujukan Covid-19.
Produk ventilator hasil kerja sama ITB, Unpad, dan Yayasan Salman dinamakan Vent-I. Menurut situs web itb.ac.id, ventilator ini sudah lolos uji untuk semua kriteria uji, pada 21 April 2020.
Ventilator ini diinisiasi pengembangannya oleh dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) dari Kelompok Keahlian Ketenagalistrikan ITB Syarif Hidayat. Vent-I merupakan alat bantu pernapasan bagi pasien bukan intensive care unit (ICU).
Di samping empat prototipe yang dikembangkan beberapa lembaga tadi, ada lembaga lain yang membuat ventilator. Misalnya, PT Pindad yang mengembangkan alat bantu pernapasan bernama Pindad Ventilator Resutitator Manual (Pindad VRM). Dilansir dari situs web pindad.com, Pindad VRM dirancang dan dikembangkan bersama tim ahli medis dari Rumah Sakit Umum (RSU) Pindad.
Untuk sampai ke rumah sakit-rumah sakit rujukan Covid-19, proses uji ventilator itu cukup panjang. Menurut Alvin Tanto, setidaknya membutuhkan tiga tahap pengujian.
“Tahapannya ialah uji di BPFK, uji klinis, dan terakhir izin edar. Jadi, memang semuanya di bawah Kemenkes,” kata dia.
Ia mengatakan, proses tersebut memakan waktu sekitar tiga hingga empat minggu. Di BPFK saja, terang Alvin, diperkirakan menghabiskan waktu selama tiga hari hingga seminggu untuk menguji keandalan produk.
“Jadi, mesinnya dijalanin sama mereka tiga hari, terus kalau sudah oke, disertifikasi,” ujar dia.
Jika semua tahapan bisa dilewati, Alvin berencana melakukan produksi secara mandiri. Meski begitu, ia membuka kemungkinan untuk menggandeng badan usaha milik negara (BUMN). Ia menuturkan, hingga kini Kementerian BUMN paling intensif berkomunikasi dengan timnya.
“Tawarannya macam-macam. Tapi, sebelum barangnya lulus uji, kita belum bisa janjiin apa-apa,” katanya.
Mendukung ventilator dalam negeri
Anggota Komisi IX DPR dari fraksi PDI-P Edy Wuryanto mengakui, saat ini Indonesia memang kekurangan ventilator dalam perang melawan Covid-19. Alat bantu pernapasan itu pun, kata dia, mayoritas diimpor dari negara lain.
“Yang memproduksi ventilator itu terbatas karena berbagai negara juga rebutan atau membutuhkannya,” kata dia saat dihubungi, Jumat (8/5).
Saat ini, kata dia, Komisi IX DPR tengah mendorong agar produksi alat bantu pernapasan dalam negeri ditingkatkan karena biaya impor ventilator terbilang mahal. Ia menyarankan, bila ada perguruan tinggi melakukan penelitian dan hendak memproduksi alat itu, perlu dibantu agar lebih cepat prosesnya.
“Untuk memenuhi semua kebutuhan ventilator di rumah sakit penanganan Covid-19,” katanya.
Mengenai sulitnya mendapatkan komponen untuk merancang ventilator, Edy mengungkapkan, sebenarnya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) sudah mengeluarkan peraturan relaksasi impor alat kesehatan.
Beleid itu terdapat di dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87 M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu.
Dihubungi terpisah, ahli epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) UI Syahrizal Syarif mengatakan, pemerintah harus mendukung ventilator karya anak bangsa.
“Kita harus hargai jika ada ventilator anak bangsa, juga PCR (polymerase chain reaction) reagents yang akan di produksi biofarma,” kata dia saat dihubungi, Kamis (7/5).
Menurut Syahrizal, dukungan pemerintah sangat diperlukan, mengingat selama ini 90% obat dan alat kesehatan di Indonesia didatangkan dari luar negeri. Termasuk bahan baku pembuatannya.
Sementara itu, dosen pascasarjana bidang kesehatan masyarakat di University of Derby, Inggris Dono Widiatmoko mengatakan, untuk mengatasi kesulitan komponen ventilator yang berasal dari luar negeri, pemerintah harus segera membantu dengan cara mempermudah mendapatkan suku cadang dan akses ke perusahaan luar negeri yang memproduksinya.
"Karena waktunya sangat sedikit, kita tidak akan bisa juga 100% (komponen) dari dalam negeri kita sendiri," kata dia ketika dihubungi, Jumat (8/5).
Di sisi lain, perlu pula mendorong produksi alat kesehatan dalam negeri. Sebab, dalam jangka panjang, kebutuhan pasar kesehatan Indonesia sangat besar.
"Sangat sedih rasanya jika market yang sangat besar ini, kita masih terus bergantung pada produk-produk negara lain," katanya.
Menurut Dono, di Inggris pun beberapa perusahaan pembuat mobil dan pesawat beralih membuat ventilator untuk membantu penanganan pasien Covid-19.
Hanya, Dono mengingatkan, pihak-pihak yang membuat ventilator harus mengikuti standar yang ada. Meski sudah jadi, kata dia, tak bisa langsung digunakan karena alat tersebut punya spesifikasi yang berbeda-beda dan perlu diuji terlebih dahulu.
"Apakah itu sudah sesuai dengan fungsinya? Tidak ada risiko-risiko lain. Kemudian begitu sudah jadi, sudah siap digunakan, harus ada pelatihan yang tepat,” tuturnya.
“Dokternya harus dilatih, dokternya harus dibiasakan menggunakan alat tersebut.”
Dono mengatakan, tak mudah mengoperasikan alat bantu pernapasan. Menurut dia, alat medis tersebuh hanya bisa digunakan pada ruang perawatan dan dokter tertentu.
"Karena ventilator itu memerlukan tenaga anestesi, dokter anestesi yang untuk mensedasi," kata dia.
Di dalam proses menggunakan ventilator, ujar Dono, pasien perlu dibius terlebih dahulu. Kemudian, dimasukkan sebuah alat ke dalam rongga pernapasan. Sehingga, pasien dalam kondisi dipaksa bernapas.
Maka, saat melakukan hal itu perlu ruangan perawatan intensif. Namun, kata Dono, tak semua rumah sakit punya ruangan seperti itu. Misalnya, ruang ICU. Di samping itu, dokter spesialis anestesi harus ada di rumah sakit.
"Dokter anestesi jumlahnya juga terbatas di rumah sakit dan kapasitas ruang insentif care juga tidak terlalu banyak," ucapnya.